Tuesday, August 30, 2005

ACEH TIDAK UNTUK DIJUAL

15 Agustus 2005 mungkin merupakan hari yang di anggap bersejarah oleh sebagian orang ketika pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani perjanjian perdamaian. Adapun yang di tanda tangani ialah butir-butir kesepakatan penghentian konflik bersenjata antara kedua belah pihak ini, bagi Indonesia ini adalah kado bagi hari 60 tahun kemerdekaan, untuk GAM ini adalah proses politik baru dalam rangka perlawanan tanpa bersenjata, dan bagi rakyat Aceh ditanggapi tidak begitu semeriah pemerintah maupun setenang GAM mereka terkesan berharap akan damai terus. Mengapa demikian ? karena sebagian rakyat aceh terutama di sekitar pedalaman ataupun di kamp-kamp pengungsi pasca tragedy tsunami masih khawatir akan kondisi politik dan keamanan kedepan. Dari berbagai macam wawancara, liputan-liputan di tv, dan media yang mengulas aceh umumnya tetap khawatir meskipun rata – rata cukup senang akan perjanjian perdamaian ini namun masa ketakutan tetaplah ada kalau-kalau sesuatu konflik baru akan terjadi di masa yang akan datang.
Meski pemerintah menyambut suka cita bahkan pemerintah langsung mengadakan syukuran nonton bersama perjanjian damai dari Helsinki ( seperti nonton bareng piala dunia ) sampai arak-arakan pawai di kota-kota aceh beberapa jam sesaat penandatanganan. Tapi tidak di pungkiri kalau pemerintah juga mendapat kecaman dari kelompok-kelompok ultra nasionalis di Indonesia bahkan sampai detik ini isi dari MOU masih menjadi perdebatan disana-sini. GAM sendiri masih menunggu instruksi dari pemerintah pusatnya yang masih berada di Swedia bahkan janji penyerahan senjata masih hati-hati juga karena adanya isu mengenai milisi-milis sipil yang pro Indonesia. Sementara rakyat Aceh masih terkatung-katung hidupnya setelah dilanda tsunami, bayangkan ratusan ribu nyawa manusia hilang dan ribuan rumah penduduk rata dengan tanah. Banyak warga kini hidup di tenda-tenda pengungsi yang sampai kini belum jelas kapan rumah mereka dapat berdiri kembali. Kita tidak bisa hanya meratapi kasihan atau sedih saja tapi semestinya berpikir juga solusi bagaimana untuk menyelesaikan kondisi di Aceh karena tidak bisa daerah ini di selesaikan oleh elit pemerintah saja dan kita juga harus menyadari suara rakyat Aceh sesungguhnya.

Secara kasat mata kita lihat perjanjian ini berjalan dengan cukup baik untuk perdamaian tapi kita juga patut bertanya adakah implikasi atau kompensasi dari perdamaian ini bagi Indonesia ataupun rakyat Aceh. Mungkinkah hal ini ada hubungannya dengan proses bantuan kemanusiaan ke Aceh dan juga rencana-rencana rekonstruksi bagi pembangunan di Aceh oleh berbagai perusahaan-perusahaan kapital global. Coba kita amati berapa triliun rupiah dana yang masuk ke Aceh dari bantuan-bantuan luar negeri, badan-badan kapitalis internasional juga sudah bersiap-siap mencaplok Aceh dan segera kepentingan modal, neo liberalisme, kapitalisme global dan agen-agen lainnya sangat bernafsu untuk membantu. Makanya tidak heran banyaknya pasukan imperialis kala itu datang membantu, kemudian badan-badan korporat, multinasional, agen-agen ekonomi dunia menyalurkan bantuan. Bahkan presiden SBY sampai-sampai membuat konferensi untuk mengundang investor membantu Aceh dan mengharapkan agar investor ini untuk dapat membangun Aceh, sehingga pasca tsunami Aceh seperti sedang menjadi alat jualan bagi orang-orang yang ingin menarik keuntungan dari kondisi bencana alam terbesar ini. Indikasi Aceh terjual ini sangat kuat melalui perjanjian MOU ini, artinya GAM sendiri ingin menarik hasil keuntungan dari rencana bantuan ini bersama-sama pemerintah Indonesia juga. Kalau kita cermati isi dari MOU tersebut jelas-jelas sekali kalau Aceh nantinya akan dapat menentukan utang luar negerinya sendiri bahkan juga dapat menentukan tingkat suku bunga sendiri. Insting saya berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan perjanjian ini meski rakyat Aceh hidup damai tanpa perlawanan senjata tapi daerah ini akan terancam oleh perang masa depan berupa mahalnya air, listrik, kesulitan mendapatkan rumah murah, mata pencaharian yang semakin sulit dan masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan implikasi dari kapitalisme globalisasi. Belum lagi konflik sipil pun akan terancam timbul kembali karena seperti yang katakan diatas bahwa setelah TNI menarik diri dari Aceh maka yang di takuti adalah milisi-milis sipil yang sangat ultra nasionalis, orang-orang yang menentang perjanjian ini menggunakan nama NKRI, Pancasila,UUD 45 sedangkan dari pihak GAM menggunakan isu pendirian partai politik lokal. Saya jadi tertawa sedikit bahkan ada guyonan buat pemerintah Indonesia dan GAM, yaitu kedua belah pihak seakan-akan menjual barang dagangan yang menjual nasionalisme chauvinis dan yang satulagi menjual taktik politik berupa partai lokal. Tetapi sebenarnya keduanya sama-sama ingin berlomba-lomba memenangkan tender siapa yang berhasil mengawal bantuan investasi ini GAM kah atau Indonesia kah. Saya sengaja tidak melihat perjanjian damai ini dari segi ideologi ataupun jargon-jargonnya, saya melihat dari segi hati nurani bagi rakyat acehnya. Karena mereka hidup terus-menerus dalam tekanan dan penindasan entah karena perang ataupun bencana alam, meski sebenarnya patut di pertanyakan juga tentang kilang minyak EXXON disana bagaimana peran perusahaan ini bagi rakyat Aceh.

Dalam doktrin globalisasi kapitalis saat ini ialah uang dapat berputar melewati batas negara dan bukan hanya itu tanah pun dapat di beli oleh pemilik modal demi pembangunan yang menguntungkan. Sehingga dampak besar yang akan terjadi dari doktrin ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan public akan habis terjual oleh perusahaan asing kemudian konsekuensinya harga jual semakin mahal karena si investor tersebut ingin mencari untung besar. Terhadap masyarakat pun akan semakin terasa dampaknya terhadap mahalnya kebutuhan-kebutuhan hidupnya, lebih lagi apabila partisipasi masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembangunan ini nantinya. Aceh musti di selamatkan dari malapetaka ini jangan kita biarkan rakyat Aceh terus hidup dalam ketidak pastian setelah perang kini utang luar negeri baru, jangan pula kita harus memaksakan hal-hal yang nantinya merugikan bagi kita semua. Aceh bukan alat jualan bagi Indonesia ataupun GAM dan juga jangan sampai kepentingan modal dunia bermain di sini terutama dari uni eropa, amerika serikat, imf dan bank dunia sehingga perdamaian ini hanya untuk mencari keuntungan siapa yang dapat uang paling banyak dengan menjual sebuah ide-ide politik di dalamnya. Bagi rakyat Aceh hendaknya juga harus cermat melihat hasil perjanjian ini apabila memang benar daerah kalian telah di jadikan arena jualan politik dan ekonomi maka kalian berhak untuk melawannya. Kalau rakyat Aceh punya suara akan nasib wilayahnya maka jangan takut untuk bersuara karena yang berhak menentukan nasib hidup Aceh hanyalah warganya sendiri bukan orang dari luar daerahnya. Akhir kata saya ingin mengatakan ACEH TIDAK UNTUK DIJUAL….

Wednesday, August 17, 2005

YOUTH CAMP WSF 2004


Ada suasana yang tidak kalah menarik dari berlangsungnya Forum Sosial Dunia di Mumbai, India 16-21 Januari 2004, yaitu situasi di youth camp atau dalam istilah umumnya tempat kemah para pemuda dari berbagai macam negara yang memiliki suatu ide yang sama mengenai gerakan anti neoliberalisme dan kapitalisme. Kemah ini bukanlah seperti hal yang kita bayangkan seperti tidur didalam tenda atau berada diatas bukit, melainkan camp ini berada masih didalam kota Mumbai yang jaraknya sekitar 1 jam dari nesco ground (tempat berlangsungya Forum Sosial Dunia) dengan mempergunakan kereta api.
Hari pertama saya memasuki area camp membutuhkan perjuangan yang cukup keras, karena saya harus menaiki kereta yang penuh sesak dan berdiri. Dengan membawa tas ransel saya berukuran besar disertai berat yang begitu terasa dipunggung saya turun dari kereta api, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 5 kilometer . Setibanya di camp saya masih harus menunggu sekitar 3 jam karena loket pendaftaran belum dibuka. Tempat youth camp sendiri berada di sekolah Don Bosco murid-murid di sini sengaja diliburkan selama berlangsungnya kemah pemuda ini.
Pada malam pertama saya di camp ditemani oleh keadaan dingin disertai nyamuk-nyamuk yang selalu menyentuh badan saya. Saat itu saya bersebelahan dengan petani dari filipina yang datang sendirian, dia hanya mendapat dana berangkat ke India tanpa memiliki dana untuk menginap sehingga ia harus tidur dalam camp.
Areal camp yang luas serta tenda-tenda berjumlah ratusan membawa situasi ini kepada kebersamaan pemuda dalam melawan neoliberalisme dan globalisasi, gebukan drum dari berbagai band, panggung yang didekor dengan kreatif, dan graffiti-graffiti bertuliskan berbagai penderitaan akibat kebijakan neolib. Di areal camp ini juga berlangsung berbagai macam workshop, diskusi, seminar dan pemutaran film yang berhubungan dengan permasalahan pemuda. Panitianya sendiri diambil dari mahasiswa dan pelajar dari sekolah, universitas di India.
Sekembalinya saya kembali dari areal FSD yang setiap harinya dipenuhi berbagai macam diskusi dan seminar, areal youth camp menjadi tempat beristirahat dan alternatif lain untuk berdiskusi dengan kaum muda, sekaligus menghilangkan rasa capai setelah melewati jalan-jalan Mumbai dan kereta api yang selalu penuh sesak penumpang
Dalam camp sendiri saya tidur bersama orang-orang dari berbagai macam gerakan sosial didunia, antara lain mahasiswa-mahasiswa dari Uruguay, Korea, Belanda, Inggris dll. Setiap pagi hari setelah bangun tidur saya selalu dihadapi oleh masalah air yang keluar sangat jarang sehingga kita harus mengantri untuk mendapatkannya. Lucunya saya harus mandi bersama-sama tanpa busana seakan kita bertelanjang untuk mengatakan tidak kepada kapitalisme. Bentuk kamar mandi yang kecil dan berpetak serta jumlah orang selalu mengantri air menambah pengetahuan saya bahwa masih banyak kejadian seperti ini didunia karena air selalu di kuasai oleh swastanisasi.
Setiap malam jalan-jalan di Matunga road, daerah berlangsungnya youth camp selalu dipenuhi oleh anak-anak muda dari tempat camp yang ingin mencari makan ataupun minum kopi, mereka saling berbicara dan bertukaran pikiran mengenai permasalahan yang terjadi di negaranya. Yang tidak nyamannya dalam camp ini adalah lokasinya yang dijaga ketat oleh polisi, apabila kita ingin masuk ke areal ini harus diperiksa dengan alat
Youth camp menjadi sebuah tempat yang sangat berarti bagi pemuda untuk mengeluarkan ide-ide baru dan mencari alternatif terbaik bagi permasalahan globalisasi saat ini. Kami yang berada disini bukanlah untuk mencari kemapanan seperti yang diidamkan pemuda pada umunya namun kami ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara kami sendiri.
Hampir seluruh peserta camp berusia muda dengan bertiduran didalam camp-camp yang saling berdesakan. Sebelum tidur biasanya kami berdiskusi dalam satu tenda tersendiri yang pembahasannya berkisar mengenai agenda-agenda aksi kedepan dan perluasan jaringan antara kami agar dapat tetap saling berkomunikasi untuk bertukar informasi.
Youth camp berakhir dengan satu suara dan tujuan bersama bahwa globalisasi akan melindas kami semua, kaum muda, melalui pendidikan, kesehatan, budaya dan mesin-mesin teknologi. Bagi Indonesia camp ini sangat dapat menjadi inspirasi untuk membangkitkan gerakan kaum muda agar dapat menjadi lebih kritis atas kebijakkan globalisasi karena setelah berhasil menjatuhkan rejim soeharto kita seakan-akan mengalami kebuntuan gerakan terutama mengenai neoliberalisme.

Thursday, August 11, 2005

CORAT CORET

1. Bulan agustus ini mungkin bagi indonesia sangat bersejarah karena negeri ini merayakan kemerdekaannya selama 60 tahun. Tapi masalah dalam negeri ini masih lah sangat banyak, mulai dari korupsi hingga kemiskinan yang mengancam negeri ini. yang anehnya lagi rakyatnya tidak bosan2 berkonflik, kalau konflik massa mungkin kita sebagian tahu bahwa siapa yang merekayasa tapi ini konflik di kehidupan realita. coba kalau kalian liat di sekitar kita mulai dari keluarga yang konflik entah karena iri ataupun warisan dan mungkin juga perkawinan yg tidak di setujui oleh keluarga. diluar keluarga kita dihadapi konflik dalam lingkungan kerja yang sampai detik masih saling sikut menyikut demi pergeseran sebuah jabatan tinggi di kantor.di luar kehidupan realita mungkin sebagian orang sudah banyak yang tahu, tapi yg membuat saya tidak habis pikir kenapa konflik harus dibagi menjadi kelompok hijau dan merah putih. yang satu ingin menegakkan islam dan yang satu ingin membela mati-matian pancasila dan uud 45, hingga yang terjadi adalah sekarang ini timbullah sebuah fatwa sebagai alat legalitas buat menimbulkan anarkisme berbau agama. namun kelompok yang membela merah putih tidak habis-habisnya menolak ini bahkan hingga tercium akan bangkitnya nasionalisme yang chauvinis. sedangkan kelompok-kelompok yang dulu radikal atau prodem cepat-cepat bersembunyi cari selamat agar tidak di kejar-kejar oleh pertarungan ini mereka mungkin tidak mau terjebak dengan ini. tapi wahai kalian yang berkonflik dengar lah dengar masyarakat kini sudah bosan dengan konflik kalian, pertarungan ini tetap tidak akan mengubah kondisi hidup masyarakat yang terancam oleh kemiskinan dan juga bahaya neo liberalisme. coba kalian liat ketika kalian bertarung ribuan pekerja kereta api mau mogok nasional, tidak jadi mereka awak kabin garuda juga mau mogok...dan warga bojong berhasil mempertahankan wilayahnya dari invasi perusak lingkungan. sementara kita yang hidup sehari-hari masih saja di hadapkan oleh biaya listrik yang mahal, air yang juga semakin sulit di akses juga mahal karena privatisasi, pendidikan yang tidak gratis-gratis, maraknya bunuh diri karena himpitan ekonomi...kalian yang bertarung boleh saja merasa ideologi yang terbaik tapi belum tentu ideologi itu dapat melindungi kehidupan masyarakat indonesia umumnya, kalau pun konflik ini di menangkan oleh salah satu dari kalian tetap aja rakyat akan di hadapi oleh masa-masa sulit ini. aku rasa rakyat harus berjuang spontan lah untuk ini dan organisasi-organisasi yang suka menjual isu-isu globalisasi untuk proyek kalian sudah saatnya sekarang memberikan pendidikan terbuka buat masyarakat agar mereka sadar apa yang hadapi saat ini. jangan sampai adu domba ini menguntungkan neo liberalisme yang menyusup di balik konflik atau mungkin berada didalam konflik ini.

2. tanggal 7 juli dan 21 juli inggris di serang bom tepatnya di dalam kereta api bawah tanah di pusat kota london, cukup banyak yang terluka tapi sedikit yang tewas. selang beberapa hari ada bom lagi di mesir tepatnya di salah satu kota pariwisata di negeri itu dan bom itu menghancurkan hotel-hotel di sekitarnya. lagi-lagi teroris di jadikan sasaran dan siapa lagi kalo bukan al qaeda yang sampai hari ini saya masih bingung siapa siy mereka ini apakah memang benar mereka?. kadang-kadang si jenggot panjang bin laden ngomong di tv al zajeera klaim mulu kerjaannya kalo habis ngebom atau malah bikin intruksi akan adanya serangan, duuh om bin laden keluar deh lo dari gunung jangan main petak umpet jangan-jangan kalian sudah mempersiapkan skenario dengan bush lagi. jadi ketika bush akan turun dari jabatan presidennya lo ke tangkep dan dengan begitu kalian sudah melakukan kerjasama yang cukup rapi selama ini saling nge back up lah. bush sendiri mempersiapkan agenda teroris ini buat invasi ekonomi yang baru lagi, kasian lho ama tentara-tentaranya yang berangkat perang ke afganistan dan irak mereka tewas sia-sia. di amerika sendiri banyak warganya yang menolak kebijakkan bush ini, buat bush atas nama warga indonesia dan dunia tolong hentikkan perang ini sekarang juga. kalo perlu orang-orang seperti john bolton, donald rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan orang-orang di sekitar anda untuk di singkirkan. karena mereka lah ekonomi dunia dan politik dunia mulai tidak stabil, saya khawatir ekonomi yang di mainkan di wto,imf,bank dunia...akan semakin di persulit oleh mainan dari orang-orang anda dan sudah pasti nantinya kepentingan korporasi yang akan di utamakan bukan suara rakyat dunia. di bidang politik setelah di pegang john bolton menjadi duta besar amerika serikat untuk pbb saya jga khawatir kalo-kalo serangan pasukan anda akan semakin menggila dan melalui dia pbb akan semakin mandul dalam resolusinya.

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...