Monday, February 09, 2009

Jurnalisme investigatif dalam televisi Indonesia ( Suatu analisis kritis )

Oleh : Meistra Budiasa

Berita sebagai pusat informasi bagi masyarakat adalah suatu tontonan yang selalu dinantikan oleh pemirsanya. Pasca orde baru berita televisi semakin beragam dan informasi yang diperoleh oleh masyarakat menjadi banyak pilihan, informasi menjadi sebuah konsumsi bagi masyarakat. Segala sesuatu informasi yang dilihat dalam berita akan menjadi sebuah pembicaraan publik dan menjadi percakapan sehari – hari di masyarakat umum.

Lahirnya televisi – televisi swasta di Indonesia membuat pilihan masyarakat akan informasi semakin banyak dan luas. Para pekerja jurnalis dalam televisi menjadi semakin kreatif dalam membuat suatu berita. Karena seluruh televisi swasta yang ada di Indonesia mempunyai program berita tersendiri apabila para jurnalis tersebut tidak membuat kreatifitas maka konsep berita tv tersebut akan membosankan. Pemirsa TV saat ini semakin beragam pemikirannya dan jangkauan penyiarannya juga sudah sangat meluas, sehingga sebuah stasiun TV dalam membuat berita menggunakan teknik – teknik yang berbeda atau mempunyai ciri khas masing – masing. Apalagi Televisi saat ini sudah menjadi sebuah industri populer yang efeknya akan sangat mempengaruhi kehidupan massa hingga keranah pribadi. Menjadikan berita atau informasi akan mempengaruhi prilaku kehidupannya sehari - hari.

Sebuah informasi dari berita televisi akan tersebar begitu cepat dalam masyarakat dan untuk lebih menarik pemirsa mengikuti suatu informasi maka para jurnalis membuat suatu program berita yang dibungkus dalam model investigatif. Model berita investigatif ini merupakan bentuk informasi kepada masyarakat yang lebih mendalam, stasiun televisi yang lebih banyak menampilkan berita biasanya menampilkan berita investigatif untuk menambah penasaran kepada pemirsa TV guna mengetahui masalah yang aktual saat ini. Beberapa stasiun televisi ada yang membuatkan program khusus investigatif secara ekslusif, Stasiun – stasiun TV di Indonesia yang banyak meliput investigatif ini adalah Trans Tv, TV One, Metro TV. Sedangkan televisi seperti RCTI, SCTV, GLOBAL TV hanya mensisipi liputan investigatif dalam setiap laporan beritanya.

Liputan yang diputar dalam investigatif tersebut biasanya berupa informasi mengenai fenomena kehidupan dan politik. Format yang ditampilkannya pun sangat beragam dan cenderung dramatis.

Dalam setiap liputan investigatif yang ada dalam televisi kita, pemirsa akan diperlihatkan oleh berbagai macam gambar visual yang membawa pemirsa ikut serta dalam penyelidikan. Dengan menggunakan alat perekam kamera tersembunyi kita akan menjelajahi dunia investigatif yang membongkar rasa penasaran kita akan suatu informasi. Gambar ekslusif akan selalu menjadi tayangan yang ditunggu – tunggu oleh pemirsa. Karena dengan gambar tersebut maka fokus tontonan TV akan semakin serius dan terhayati oleh penonton dan disertai dengan suara penyiar yang membawa suasana dramatik tadi berjalan.

Namun liputan investigatif dalam televisi kita saat ini mengarah kepada kerancuan informasi atau bisa menjadi distorsi di masyarakat. Karena pesan yang ingin disampaikan oleh investigatif sangat tidak sampai dan cenderung membingungkan pemirsa, para jurnalis hanya menampilkan sisi dramatic dari gambar – gambar ekslusif tanpa melihat pesan apa yang bisa diterima oleh masyarakat. Berdasarkan hal inilah penulis akan membongkar kesalahan – kesalahan dari para jurnalis kita dalam menyampaikan investigatif dalam televisi, karena penggambaran secara dramatic tidak akan membawa kepada esensi dasar jurnalisme investigative itu sendiri. Dan ada kecenderungan permainan industry sangat mempegaruhi dalam peliputan investigative ini karena informasi yang disampaikan oleh para jurnalis memiliki efek yang besar terhadap sebuah industry kecil terutama para pekerjanya. Penulis akan menganalisis sesuai dengan pandangan kritis khususnya dengan pendekatan ekonomi politik dalam media.

A. Potret Jurnalisme Investigatif dalam Televisi di Indonesia

Dalam satu tayangan televisi ada sebuah liputan investigatif mengenai pembuatan makanan yang menggunakan formalin. Tayangan yang ditampilkan dalam televisi sangat membuat kita penasaran, dimana seorang wartawan mencoba masuk kedalam pabrik pembuatan makanan yang berformalin tersebut. Dengan menggunakan kamera tersembunyi pemirsa televisi diajak untuk mengikuti proses pembuatan makanan berformalin tersebut, kemudian secara bertahap pembuatannya dapat diikuti secara detail. Seperti menonton sebuah film kita akan dibawa dalam suasana penasaran ataupun kesal karena ternyata makanan yang kita konsumsi selama ini bisa jadi mengandung formalin. Wartawan yang meliput proses kejadian tersebut mengklaim bahwa ini merupakan sebuah investigatif akan sebuah fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan liputan ini secara khusus dibuat eksklusif.

Gambaran investigatif yang ditampilkan dalam liputan – liputan tersebut dianggap telah menjustifikasi bahwa pemberitaan tersebut benar dan nyata. Para wartawan khusunya peliput investigatif dalam TV sering terjebak oleh dikotomi ini, karena teori mengenai investigatif yang didapat biasanya tidak sepenuhnya menggambarkan itu. Namun para jurnalis sendiri banyak yang terkejar oleh deadline berita sehingga informasi yang didapat bisa saja dijadikan bahan untuk liputannya. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam setiap laporan investigatif yang ditayangkan, sebagian besar merupakan isu – isu populer dalam masyarakat. Kasus seperti formalin mungkin sering terdengar di kalangan umum namun itu baru berupa rumor, atas dasar itu mungkin para jurnalis TV melakukan liputannya.

Laporan investigatif menjadi sebuah tayangan khusus dalam stasiun televisi swasta dengan program khusus yang diputar cukup lama. Tampilan yang dimunculkan selalu bersituasi seperti menonton sebuah sinetron, dengan alasan investigatif stasiun TV tersebut berusaha menarik kita kedalam dunia dramanya menjadika beritanya seperti fenomena sinetron. Dengan demikian menyaksikkan tayangan berita tersebut seperti alunan melowdramatik dan kedangkalan atas informasinya juga sangat kuat.

Para jurnalis secara tidak sadar akan membuat inspirasi bagi para penonton untuk melakukan tindakan apa yang dipraktekkan dalam sebuah liputan investigatif. Dan contoh yang akan dapat terjadi adalah terbentukanya industri – industri makanan baru yang menggunakan formalin tidak hanya itu polemic dalam masyarakat juga akan semakin luas karena dibuat bingung oleh informasi berita tersebut. Kecenderungan polemic yang terjadi dapat terlihat nyata ketika informasi investigatif mengenai makanan berformalin meresahkan masyarakat luas, mereka jadi takut membeli jajanan yang biasa di konsumsi masyarakat. Selain itu dampak yang lebih besar adalah hancurnya industri kecil seperti tukang bakso dan ancaman akan kehilangan pekerjaan bagi para penjual bakso keliling. Banyak dari mereka pada saat televisi secara gencar memberitakan makanan formalin tidak berhasil mencari pembeli, karena masyarakat sudah begitu banyak mengetahui informasi tersebut melalui TV. Bahkan muncul beberapa pedagang bakso yang menggunakan kalimat bebas formalin, dampak besar dari informasi investigatif ini sangat nyata terlihat dalam kasus tersebut. Lebih mengherankan lagi isu ini kemudian menjadi masalah nasional hingga pemerintah turun tangan melalui Badan Pengawasan Obat mereka melakukan penelitian – penelitian mengenai makanan berformalin. Pengamat – pengamat kesehatan kemudian bermuncunlan, secara tidak sengaja para jurnalis yang mengklaim laporannya adalah investigatif telah membawa suatu polemik yang begitu luas menyentuh banyak pihak. Tidak bisa ditutupi bahwa banyak laporan investigatif di Indonesia telah membuat sebuah masalah baru bagi masyarakat luas.

Peran pekerja jurnalis akan lebih dipertanyakan kembali dalam posisinya ketika melaporkan sebuah liputannya, karena apakah para jurnalis tersebut melakukan itu secara independen atau adanya intervensi dari beberapa pihak. Sebab dalam setiap liputannya para jurnalis memperlihatkan ilustrasi praktek suatu masalah yang ingin di investigasikan, dalam ilustrasi itu tersebut sering terlihat bahwa seorang pelaku menampilkan cara – caranya dengan terbuka meskipun wajah mereka diburamkan oleh kamera. Walaupun hal demikian tidak melanggar etika jurnalis tetapi proses yang ditampilkan tersebut terkadang sudah diskenariokan jadi keaslian pelaku dalam melakukan ilustrasi patut dipertanyakan. Dari gambaran itu maka bisa kita pertanyakan lebih dalam apakah para pekerja jurnalis tersebut telah melakukan investigatif secara mendalam? Atau sudah diskenariokan oleh suatu kepentingan?.

B. Industri Farmasi dan Industri Media

Liputan investigasi mengenai formalin menyebabkan isu meluas dalam kalangan masyarakat, terutama industry yang berhubungan dengannya seperti makanan, media dan obat – obatan. Informasi yang disampaikan dalam tayangan berita tersebut pada akhirnya membawa usaha industri kedalam polemik wacana mengenai legalitas penyebaran farmasi dalam masyarakat. Polemic yang terjadi yaitu bagaimana aturan – aturan mengenai penyebaran obat dapat dilakukan melalui suatu mekanisme undang – undang, tidak mengherankan ketika isu formalin itu di sebarluaskan melalui media para aparat hukum secara tegas melakukann razia terhadap penjualan obat yang illegal khususnya formalin. Toko – toko penjual bahan kimia dan formalin di periksa secara ketat oleh aparat serta badan pengawasan obat sibuk memeriksa makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya tersebut. Wacana mengenai penyebaran bahan formalin pun menjadi begitu besar terutama dalam media debat antara para ahli sampai kepada tanggapan masyarakat menjadi tontonan sehari – hari selama isu itu berkembang. Sedangkan industri obat terus melakukan konsolidasi dengan pemerintah untuk melegalkan suatu undang – undang mengenai peredaran obat.

Dalam era yang saat ini sudah memasuki abad kapitalistik maka cara – cara untuk mencari komoditi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Industri farmasi yang notabene sebagai sebuah perusaahan besar tentu prakteknya menggunakan cara kapitalisme. Industri dalam logika kapitalisme yaitu bagaimana produksi yang dihasilkannya dapat meraih keuntungan sebanyak – banyaknya. Termasuk dengan mengeksploitasi para pekerjanya dan faktor pendukungnya berupa uang dan waktu kerja, industri memerlukan mitra untuk memperlancar jalannya modalitas barang. Seperti halnya industri farmasi yang membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperlancar proses distribusinya, bentuknya bisa berupa undang – undang atau melalui media.

Dengan berkembangnya industri media yang pada khususnya dimiliki oleh individu maka proses berjalannya distribusi kapitalisme dapat mudah berjalan. Seperti dalam kasus formalin tersebut dimana industri farmasi membutuhkan media untuk menyebarkan sebuah isu agar nilai – nilai yang mereka inginkan dapat terwujud. Isu makanan formalin bisa jadi adalah sebuah wacana yang sengaja disebarkan oleh monopoli industri farmasi, karena dengan berhasilnya suatu isu yang mereka sebarkan maka persaingan dalam bidang obat – obatan akan mudah terlihat untuk kemudian dijadikan alat monopoli industri. Badan pengawas obat atau BPOM patut dipertanyakan dalam masalah ini, karena segera setelah laporan media itu ditayangkan maka secara cepat pula badan ini melakukan penelitianya. Apakah memang badan ini bekerja secara independen atau memang ada pesan – pesan yang sudah disampaikan oleh beberapa perusahaan farmasi.

Industri media dengan berbagai macam programnya yang salah satunya melalui liputan investigatif ini juga memperoleh keuntungan besar yaitu nilai rating TV akan semakin meningkat dan menjadikan program tersebut laku dijual ke beberapa sponsor. Dengan demikian proses keuntungan individu akan semakin terakumulasi kepada segelintir orang. Akan menjadi sebuah pengamatan yang nyata apabila hubungan antara industri farmasi dan media dalam kasus investigative mengenai formalin bia dihubungkan. Dan dimana posisi pekerja media yaitu wartawan, pekerja industri farmasi yaitu Apoteker, dan pedagang bakso keliling kalau dianalogikan dengan amatan diatas bisa jadi posisi mereka hanya sebagai korban dari konspirasi kapitalisme. Para pekerja media maupun farmasi akan sangat dirugikan dalam kasus tersebut karena keduanya mempunyai peran penting sebagai penentu dari jalannya sebuah ekonomi dari industry tersebut. Pekerja media akan mengalami kerugian berupa tanggung jawab dari masyarakat karena informasi yang sudah disampaikan akan merugikan banyak orang, sedangkan para pekerja farmasi akan mengalami ancaman pekerjaan apabila salah satu industri memainkan isu formalin untuk memonopoli peredaran obat di Indonesia. Dan efek yang akan paling dirasa yaitu kepada pedagang bakso keliling karena mereka menjadi korban terbesar dari konspirasi industri tersebut.

Persaingan dalam industri farmasi dalam rangka globalisasi mungkin menjadi alasan bagi pengusaha dibidang tersebut karena takut kehilangan perannya didalam negeri. Hal demikian dapat dibuktikan dalam salah satu laporan di situ berita Antara yang mengatakan “ Industri farmasi di Indonesia akan terancam dengan pemberlakukan Harmonisasi ASEAN 2008 yang membolehkan peredaran obat lintas negara asalkan memiliki kualitas dengan standar yang setara”. Berita yang tertulis tahun 2007 tersebut bisa jadi sebagai alat bukti bahwa industri farmasi di Indonesia sangat ketakutan dengan hadirnya pasar ASEAN, sehingga lontaran suatu isu dibuka untuk kemudian bernegoisasi bersama pemerintah membuat aturan. Bersamaan dengan itu industri kecil makanan yang juga memiliki pekerja mengalami kerugian sehingga memukul industri tersebut. Secara garis besar bisa gambarkan bahwa jurnalisme inverstigatif dalam televisi di Indonesia khususnya ketika membicarakan permasalahan makanan formalin tidak mengalami kemurnian atau sesuai fakta yang ada. Sebab dalam praktek jurnalisme investigatif cara pencarian data harus memakan waktu cukup lama bahkan sampai bertahun – tahun hal ini dikarenakan pencarian sumber yang cukup lama. Seperti dikatakan oleh Andreas Harsono seorang wartawan investigatif menyatakan bahwa “Sumber-sumbernya buat investigatif cukup banyak. Dengan Dokumen-dokumennya yang bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut”. Ia juga secara singkat menjelaskan mengenai bagaimana laporan investigatif disampaikan yaitu “Mula-mula seorang wartawan investigator adalah wartawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau melakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi”

C.Kesimpulan

Perlu menjadi renungan buat para pekerja Jurnalisme saat ini yang sedang mengalami eforia kebebasan. Karena dengan tumbuhnya industri media televisi membawa para pekerja Jurnalis mengalami sedikit dilemma karena disatu sisi mereka harus bekerja bagaimana liputannya dapat ditayangkan dan menghadapi deadline yang cukup ketat, tetapi disisi yang lain kapitalisme industri memanfaatkan mereka untuk mencari keuntungan dengan cara bermonopoli. Sehingga perlu adanya pelatihan secara mendalam mengenai teknik – teknik jurnalisme, sehingga wartawan yang telah menjadi bagian dari industri tersebut bisa memainkan perannya tanpa harus tunduk terhadap modal.

Dalam kasus jurnalisme investigatif di televisi Indonesia, para pekerja jurnalis hendaknya memahami betul penelitannya. Karena apabila liputan hanya berdasarkan fenomena dari omongan sehari – hari masyarakat maka keakuratan beritanya perlu dipertanyakan, pencarian data juga harus lengkap tidak hanya berdasarkan satu fakta saja. Tayangan dalam TV pun jangan terlalu dramatis seperti sinetron, karena ada kecenderungan gambaran yang ditampilkam hanya untuk menarik pemirsa kedalam suasana melankolis dramtik.

Dengan demikian liputan Jurnalisme Investigatif dapat menjadi referensi dalam masyarakat untuk mengkritisi kebijakkan pemerintah yang ada. Karena investigatif yang ada saat ini khususnya dalam televisi tidak mengesankan hal demikian. Tantangan bagi pekerja jurnalis untuk menjawab hal ini.

Citra perempuan dalam film "kawin kontrak lagi"

Oleh : Meistra Budiasa


Fenomena kawin kontrak telah menarik bagi industri film untuk ditampilkan dalam layar lebar. Hal ini dilakukan karena isu kawin kontrak sudah bukan menjadi rahasia umum bahkan pemerintah sempat secara terbuka melalui wakil presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan yang kontroversial mengenai kawin kontrak sebagai asset Negara, pernyataan ini sangat menyudutkan kaum perempuan. Bahkan setelah pernyataan itu disampaikan ramai – ramai berbagai LSM perempuan menentang keras pernyataan Jusuf Kalla tersebut, isu ini kemudian semakin ramai dibicarakan oleh banyak orang.


Setelah ramai dibicarakan maka seorang sutradara film mengangkat isu ini dalam sebuah film yang berjudul Kawin Kontrak, film ini mendapat respon yang cukup luas dari masyarakat banyak. Bioskop – bioskop yang memutar film tersebut selalu penuh dan laku keras meski tidak mencapai box office di Indonesia. Melihat kesuksesan itu film ini dibuat kembali dengan judul Kawin Kontrak lagi, jalan ceritanya masih seputar perkawinan kontrak di suatu desa sekitar Jawa barat namun pada sekuel kedua ini ada sisi perlawanan terhadap sistem kawin kontrak tersebut. Pada keseluruhan filmnya perempuan masih terus menjadi objek utama dari alur ceritanya dan sebagian besar menjadi korban dari kawin kontrak.


Dibalik sukses besar film tersebut ada beberapa catatan dan kritikan karena banyak mengandung beberapa aspek yang perlu dianalisis secara kritis. Karena film ini secara tersirat banyak mengandung unsur - unsur suku, gender, dan seks yang patut dikritisi sebab kalau kita melihat secara keseluruhan isi film tersebut tidak akan kita temui makna dari kawin kontrak tersebut. Film ini pada akhirnya hanya berisi hiburan yang mengandung unsur seks remaja dan petualangan seks itu sendiri, mungkin film – film bertema ini sekarang sedang mulai menjamur dalam industry film Indonesia. Penulis akan menganalisis isi, makna, dan kesimpulan dari film tersebut seusai dengan pandangan kritis.


A. Synopsis film kawin kontrak lagi

Film ini berdurasi sekitar 90 menit dan sepanjang ceritanya kita akan banyak disuguhi hal – hal sensasional dan seksi. Film diawali dengan kepusingan Jody seorang mahasiswa yang baru saja mengalami masalah karena orang tuanya tertangkap oleh KPK dengan kasus korupsi, ia anak seorang kaya yang sempat melakukan kawin kontrak bersama teman –temannya disuatu desa bernama Pakelonan. Ketika ia sedang menjalani masa – masa sulit tersebut tidak sengaja Jody bertemu dengan kang Sono seorang mantan makelar kawin kontrak yang beralih menjadi supir angkutan umum. Kedua orang tersebut dalam keadaan susah saat ini, namun kemudian semuanya berubah ketika teman – teman dari Jody meminta tolong kepadanya untuk diajari bagaimana menjalani kawin kontrak. Maka timbullah ide bersama kang sono untuk menjadi makelar kawin kontrak dengan pembagian hasil diantara keduanya membuat kang sono beralih profesi untuk kembali menjadi makelar dan Jody mengambil jalan demikian karena kebutuhan biaya kuliah semenjak bapaknya ditangkap. Sementara ketiga teman Jody yaitu Menfo, Hakim, dan Fredo yang ingin sekali ikut pengalaman seksualnya melalui kawin kontrak merupakan pria – pria yang masih perjaka atau belum pernah merasakan hubungan seksual.


Kang Sono kemudian mendatangi kembali ke kampungnya bersama Jody untuk mencari wanita yang diinginkan ketiga pemuda tersebut. Dikampung tersebut ada seorang raja dari makelar kawin kontrak bernama Bos Maung, pria ini bersosok seperti militer dan seluruh penghuni pondoknya adalah wanita – wanita yang ingin dijual untuk kawin kontrak. Bahkan seluruh penghuninya diwajibkan untuk melakukan upacara menghormati Bos Maung yang penampilannya selalu menggunakan baret merah dan tongkat komando. Kang sono dan Jody menemui bos maung tersebut untuk meminta diberikan wanita yang siap diajak kawin kontrak, dengan berbagai macam cara akhirnya harga disetujui untuk kemudian mereka kembali lagi bersama ketiga temannya tersebut.


Jody secara tidak sengaja bertemu kembali dengan Teh Euis wanita kontrakan yang pernah disewa oleh Jody pada masa dulunya, kemudian dengan situasi kangen antara keduanya maka Jody kembali tinggal dengan Euis. Sekaligus mengawasi temannya yang akan melakukan kawin kontrak dengan warga desa binaan Bos Maung. Akhirnya melalui negoisasi ketiga pemuda tersebut mendapatkan wanita untuk dikawinkan kontrak, dari tiga wanita tersebut ada satu orang yang masih lugu dan belum pernah mengikuti kawin kontrak namanya Sasi. Ia seorang wanita yang dalam film ini dijadikan objek harga tertinggi bagi Bos Maung karena dianggap sifat dan keadaan yang masih perawan, jalan cerita film ini kemudian berkembang berkat hadirnya Sasi sekaligus bentuk perlawanan Teh Euis kepada Bos Maung yang telah banyak menjual warga desanya menjadi wanita kawin kontrak.


Sampai pada akhirnya alur cerita semakin tegang ketika Sasi ingin dibawa oleh seorang wanita penyalur wanita untuk kota besar dan Jody bersama Teh Euis melakukan operasi bersama untuk menghentikan pengiriman Sasi, serta menyelamatkan seluruh penghuni pondok agar tidak menjadi korban penjualan Bos Maung. Sampai pada akhirnya terjadi mukzizat ketika Euis mendapatkan keajaiban ilmu silat yang kemudian dapat mengalahkan kekuatan pasukan Bos Maung. Pada akhirnya Bos Maung terkalahkan dan seluruh wanita pondok mengalami pembebasan, namun pertanyaan besar masih ada yaitu bagaimana Jody ternyata memiliki pacar dan mereka rujuk kembali dengan pengetahuan Euis dan nasibnya sendiri dalam film ini tidak terjawab.


B. Kekuatan maskulin dengan wajah feminis

Menyaksikan film kawin kontrak lagi akan sulit bagi kita untuk menemukan inti permasalahan dalam perkawinan itu. Film ini lebih cenderung menonjolkan sisi hiburan terutama hal – hal berbau seks dengan wanita – wanita berbaju seksi sebagai pelakunya, sehingga secara sepintas mata kita hanya bisa dihibur dengan hal – hal berbau seks terutama liukan tubuh wanita sebagai objeknya. Film ini memiliki kecenderungan melemahkan posisi wanita karena setiap adegannya selain penampilan seksi terungkap juga masalah – masalah domestik yang mesti dilakukan.


Sejak awal kita melihat bahwa film ini terlalu mengedepankan kepuasan laki – laki dan tergolong dari kelas atas mereka datang ke desa dengan uang banyak membeli perempuan untuk dijadikan istri kontrakan. Seperti dalam film edisi pertamanya Jody bersama teman – temannya melakukan petualangan seks ke sebuah desa di Jawa barat dengan modal uang yang dimiliki mereka kemudian mencari wanita dan penghulu untuk melakukan kawin kontrak. Setelah mereka disahkan maka mereka boleh tinggal bersama dan pada malam pertama para pria ini meminta wanita – wanita tersebut melakukan apa yang mereka mau. Sehingga kekuatan pria dalam urusan seks masih ditonjolkan sedangkan perempuan dengan bungkus ekonomi menuruti apa yang diinginkan oleh pria tersebut. Dalam film edisi keduanya alur ceritanya sama namun konstruksi yang ingin dibuat oleh sutradara ialah adanya nilai perlawanan dari kaum perempuan kawin kontrak tersebut. Tetapi esensi perlawanannya masih terbungkus oleh bayang – bayang dominasi lelaki karena hampir tokoh yang mengendalikan jalannya cerita didominasi mereka, hampir semua adegan film ini berkekuatan maskulinitas.


Maskulin disini bukan berarti kekuatan otot saja melainkan struktur sosial yang terbentuk dalam setiap adegan. Dari penonjolan tokoh banyak karakter pria lebih kuat dibandingkan wanitanya, sebagai contoh bagaimana Jody yang sudah memiliki pacar bisa melakukan hubungan kembali dengan istri kontrakannya yang dahulu walaupun pada akhirnya sang pacar mengetahui tetapi pertengkaran tidak begitu panjang melainkan bersatu untuk melawan kekuasaan Bos Maung. Kisah yang lain yaitu ketika Fredo, Hakim, dan Menfo tiga orang penyewa wanita kontrak meminta wanita – wanita tersebut melakukan adegan seks, dalam film diperlihatkan bagaimana wanita tersebut menservis pasangannya masing – masing dan pada akhiranya mereka meminta uang bayaran yang harus dibayar. Ini berarti mengembalikan kondisi bahwa pria dengan keinginannya dapat menggunakan uang untuk membeli seorang wanita. Teh Euis yang pada saat itu dengan kondisi hamil tinggal sendiri juga tidak luput dari bangunan konstruksi cara piker pria, yaitu ketika pada satu adegan ia merasa menyesal dengan kondisinya dan memimpikan kepala keluarga yang dapat menerimanya.


Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa unsur maskulinitas masih mendominasi dalam film tersebut meski dengan wajah feminitas, konstruksi pria secara tidak langsung mendominasi alur cerita. Konstruksi ini diciptakan untuk lebih melegitimasi kedudukan pria dan juga memberikan pemakluman kepada kita bahwa kondisi kawin kontrak dikarenkan alas an ekonomi serta wanita dibentuk sebagai orang yang pada akhirnya kembali kepada kodratnya. Hal – hal yang bersifat kontruksi lelaki semakin jelas terlihat pada akhir cerita ketika Euis mendatangi markas Bos Maung kemudian melakukan perkelahian dengan pasukan pengawalnya, dari kejadian ini sangatlah jelas bahwa perempuan apabila ingin melakukan perlawanan terhadap kaum lelaki harus dengan cara – cara bela diri. Meskipun sutradara mungkin ingin memperlihatkan bahwa wanita itu sama dengan pria tetapi adegan bela diri bukan berarti cara yang tepat karena itu identik dengan kekerasan dan mayoritas yang menyukainya adalah mereka.


Kontruksi yang terbentuk tersebut merupakan cerminan dari budaya dan representasi keadaan realitas sosial. Meski tidak bisa disamakan namun apa yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya didominasi oleh budaya patriaki. Sehingga bentuk – bentuk realitas lebih terlihat bersifat maskulinitas dengan berbagai macam situasinya, untuk kasus kawin ada sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah bentuk prositusi terselubung. Pihak yang paling diuntungkan dalam praktek prositusi ini adalah lelaki dan posisi perempuan pada akhirnya hanya bersifat pasrah dengan keadaan tersebut apalagi didukung oleh struktur social yang ada dalam keluarga.


Media film merupakan bentuk tarik ulur dengan ideology kebudayaan dimana film itu diproduksi. Dengan demikian film tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan atau ideology dibelakangnya. Pernyataan diatas merupakan sebuah kesimpulan mendalam dari Abdul Firman Ashaf dari suatu penelitiannya terhadap aspek gender dalam film Indonesia, pernyataan yang mungkin tidak bisa dibantah lagi. Karena ideologi atau kepentingan sangat mempegaruhi jalannya alur cerita dalam film, realitas yang dimunculkan dalam layar lebar tersebut sudah melalui proses seleksi dan tidak menutup kemungkinan adanya pesan terselubung yang ingin disampaikan. Dengan kata lain konstruksi maskulinitas semakin ingin dilegitimasikan oleh si pembuat film agar kedudukan kekuasaan patriaki masih bisa diterima, meski sudah tertulis diatas sutradara apakah sengaja atau tidak membuat alur cerita dalam film tersebut.


Dalam kekuatan maskulin pria di identikkan sebagai orang yang sangat kuat dan petarung sejati sedangkan posisi wanita lebih kepada pasrah serta menerima keadaan yang ada dengan mengurus keadaan rumah tangga. Dalam kawin kontrak kekuatan maskulin di gambarkan sebagai kekuasaan yang begitu penuh dari seorang lelaki dengan uang mereka dapat membeli seorang wanita untuk dijadikan pasangan hidupnya hanya sementara. Disini terlihat bahwa lelaki menggunakan relasi kuasanya untuk membentuk struktur sosial.


Apabila kita ingin melihat jauh kedalam bahwa kontruksi maskulinitas ini sangat behubungan dengan pembuat film tersebut yang didominasi oleh lelaki, sehingga apabila mereka belum terbuka dengan ide – ide gender maka kontruksi film yang diciptakan akan sedikit berbau maskulin. Michael R. Real dalam buku Exploring media culture mengungkapkan bahwa dalam dunia film pemiliknya dan dikuasai oleh pria sehingga tidak menguntungkan dan memarjinalisasi perempuan. Pernyataan tersebut merupakan pandangan dari penglihatannya terhadap peran gender dalam dunia film yang secara perlahan mengalami perubahan dari bentuk Hollywood lama ke yang baru. Dihubungkan dengan dunia film Indonesia maka bisa jadi pandangan Hollywood lama masih terlintas dalam sineas muda kita walaupun beberapa sineas muda mulai membongkar mitos – mitos tersebut.


Dari kontruksi maskulinitas ini bisa disimpulkan bahwa pandangan feminis untuk setara dengan lelaki bukanlah melalui cara – cara kekerasan atau identik otot melainkan bagaimana feminitas dilihat dari relasi gender apa yang terjadi dari alur cerita tersebut. Sehingga konsep feminitas yang didengungkan belakangan ini bukan konsep yang melahirkan maskulinitas denga baju feminis.


C. Seks, kekuasaan dan kelas

Dominasi seks dan tampilan seksi dalam film kawin kontrak lagi merupakan sebuah gambaran bahwa film Indonesia masih menampilkan perempuan sebagai objek imajinasi seks kaum pria. Dan selalu perempuan tersebut berasal dari kelas rendah atau pedesaan sehingga pria yang dapat menyelamatkannya adalah kelas atas dari perkotaan. Pemikiran tersebut sangat berhubungan dengan bagaimana dominasi kelas sangat dipengaruhi oleh bentuk – bentuk seksualitas yang kemudian kekuasaan menjadi sebuah dominan bagi kaum pria.


Seksual akhirnya menjadi sebuah konstruksi sosial yang dimunculkan dalam film dengan demikian legitimasi terhadap kekuasaan pria semakin kuat. Kemudian bagaimana kelas pada dasarnya menjadi faktor penyelesaian legitimasi tersebut terutama kelas atas, hubungan erat antara ketiga hal tersebut sangat kuat dan Foucault dalam histori of seksualitas menjelaskan hal – hal tersebut. Bahwa pada awalnya seksualitas hanya menjadi wilayah privat manusia namun menurut perkembangannya seks menjadi luas hingga keranah kekuasaan, Foucault mengatakan bahwa kita sebenarnya baru memiliki gagasan seksualitas sejak abad ke-18 dan seks sejak abad ke-19. Apa yang kita miliki sebelumnya adalah, tidak diragukan lagi, hanyalah daging. Karya Foucault ini memperlihatkan bahwa bagaimana pada abad ke-19 proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia terjadi di lingkup lokasi institusional spesifik yang luas: di pabrik, penjara dan sekolah. Keseluruhan hasil praktik pendisiplinan ini adalah tubuh yang berguna dan jinak, produktif dan patuh. Dan kemudian, pada awal abad ke-20, wacana seks mulai menjadi kajian keilmuan. Contoh utama wacana seksualitas modern yang diajukan Foucault, pengakuan ilmiah baru, adalah psikoanalisis. Ia mengatakan dengan mengasumsikan insting seksual Freud membuka wilayah baru dominasi ilmu atas seksualitas. Dalam masyarakat modern seksual merupakan hasil dari formasi individu dan kolektif yang berhubungan dengan kekuasaan.


Legitimasi kuasa yang hadir dalam seksualitas saat ini ialah melalui media massa baik itu majalah, film, televisi dan iklan. Pembicaraan seksualitas yang dahulu sempat terbuka dan kemudian tertutup kembali oleh rejim penguasa kini terbuka luas melalui media, kalau dihubungkan dengan teori Foucault saat ini adalah ranah yang terbuka luas akan seksual akan menimbulkan kembali ranah kekuasaan pria. Sebab pada tahun – tahun dahulu seksualitas yang terbuka kemudian diatur oleh regulasi Negara dengan undang – undang kini bisa jadi seksualitas akan diatur melalui moralitas. Karena media saat ini menjadi konsumsi luas publik dan hukuman moral akan menjadi legitimasi baru dari publik. Wacana seksualitas yang terbentuk dari media sendiri lebih mendekati terhadap cara pandang lelaki dalam melihat seksualitas dan terdapat bias gender didalamnya. Kuasa yang terbentuk pada masa saat ini adalah kuasa yang diperoleh dari media dan legitimasi sturuktur sosial pun dapat dihasilkan melalui media tersebut.


Seksualitas dari setiap jamannya mendapat tekanan yang kuat dari kekuasaan hal ini diciptakan agar kelas dominasi tetap bertahan dan melanggengkan kapitalisme. Tidak dapat ditutupi bahwa peran kelas borjuasi sangat mempengaruhi posisi seksualitas karena pada akhirnya kekuasaan hanya akan menjadi suatu wacana bagi kelas dominan. Dalam suatu produksi perempuan selalu diposisikan dalam tingkatan paling rendah dari pria dan dari sinilah timbul kekuatan kapitalisme yang menguasai alat – alat produksi. Dan searah dengan perkembangannya maka patriaki muncul sebagai bentuk dominan dari system kuasa yang ada. Kebutuhan seksual akibat ekonomi kemudian menjadi legitimasi dari kapitalisme sehingga kelas bawah terutama perempuan akan menyerahkan tubuhnya sebagai alat produksi yang digunakan oleh kaum pria.


Film kawin kontrak lagi sangat menggambarkan hal – hal tersebut sebab bentuk pernikahan kontrak hanya dilihat dari sisi kepentingan ekonomi dan perempuan pedesaan yang digambarkan dalam film tersebut sangat jauh dari perkotaan dijadikan tempat pemuasan kebutuhan seksual kaum pria. Kemudian kaum pria dalam film tersebut digambarkan sebagai penjaja seksual yang sedang menjalani petualangnya dengan meminta kepada kaum perempuan yang dikontrak melalukan fantasi seksual, meskipun dalam film ini ada tokoh Euis yang ingin melawan system kawin kontrak ini namun penyelesaian secara maskulinitas dengan bentuk bela diri menjadi solusi akhir sehingga sosok maskulin menjadi tampil kembali meski secara tersirat namun ini sudah membentuk suatu wacana. Menurut Foucault bahwa setiap tindakan seksual mengandung unsur kekuasaan atau sebaliknya, sejauh mana setiap ekspresi kekuasaan mengandung unsur seks. Mekanisme kekuasaan dalam masyarakat kapitalis yang menindas muncul dari kekuatan wacana. Hubungan sosial tercipta salah satunya lewat praktik seksual melalui bentuk-bentuk tingkah laku sosial di mana di dalamnya individu mengakui dirinya sebagai subjek seksual sehingga kuasa sosial dapat mengontrol mereka secara seksual.


Dari sisi kelas sosial tergambarkan bahwa kebutuhan ekonomi menjadi alasan seseorang untuk melakukan penjualan diri dan masalah seperti ini lebih melihat bahwa kelas bawah dilegitimasi untuk melakukan tindakan tersebut. Dominasi kuasa yang berlebih dari kelas atas semakin terlegitimasi ketika banyak kaum prianya dengan menggunakan uang yang banyak melakukan pembelian terhadap perempuan untuk kebutuhan seksualnya. Kelas semakin terbentuk ketika hubungan domestic dalam keluarga didominasi oleh pria dan kaum perempuan hanya menjadi pekerja rumah tangga yang tidak dibayar, pandangan radikal ini tertuang dalam buku Frederick Engels mengenai asal usul keluarga. Dalam pandangannya kelas sosial tercipta dari lingkungan domestik keluarga dan pada masa sebelum manusia mengenal peradaban sistem sosial dalam hubungan antara pria dan wanita adalah komunal serta cenderung wanita mendominasi saat itu.


Seks, kekuasaan, dan kelas merupakan hubungan yang sangat erat dalam sebuah system. Ketiganya dibentuk untuk menegasikan kekuasaan yang ada dan bentuk – bentuknya bisa dapat dilihat secara simbolik ataupun langsung. Akhirnya legitimasi suatu rejim terbentuk karena dukungan unsur – unsur tersebut diatas, seks berhubungan dengan kesetaraan, kekuasaan berhubungan dengan kontrol kuasa dan kelas adalah yang dominasi atas alat produksi. Dalam film Kawin kontrak lagi ketiga unsur tersebut sangat mewarnai setiap cerita yang ada dan bisa jadi konstruksi perempuan dalam film tersebut terbentuk seusai dengan keinginan pria, karena permasalahan kawin kontrak yang telah menjadi kontroversi belakangan ini dimasyarakat Indonesia tidak secara penuh terjawab dalam film tersebut. Film ini cenderung hanya menampilkan keseksian tubuh wanita sebagai sisi hiburan saja dan komedi berbau seksual. Rasa penasaran penonton mengenai proses dan kehidupan dalam kawin kontrak tidak dijabarkan begitu banyak, sehingga film ini bisa dikatakan tidak memiliki nilai esensial dari kawin kontrak tersebut. Perempuan desa kelas bawah yang membutuhkan ekonomi dan melakukan praktek kawin kontrak untuk kebutuhan hidup dengan mengharapkan kehadiran laki – laki kelas atas untuk dapat memenuhi hidupnya disertai dengan komedi – komedi sensasional merupakan gambaran film kawin kontrak lagi. Relasi kuasa atas nama uang, kelas, dan usia secara tesirat dapat tergambarkan dalam film tersebut, dimana lelaki yang sudah memiliki kuasa yang sekiranya kuat dapat melakukan tindakan apa saja terhadaop perempuan. Melakukan kawin kontrak pada akhirnya hanya menjadi sebuah petualangan seksual untuk menambah kuat kuasa akan dirinya.


D. Kesimpulan

Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa suatu produk film ternyata dihasilkan dari suatu fenomena yang ada dalam masyarakat, fenomena kawin kontrak yang menjadi bahan diskusi masyarakat luas merupakan salah satu produk realitas yang difilmkan. Kawin kontrak yang merupakan sebuah prositusi terselubung menjadi hal yang bersifat rekreasi seksual dalam tampilan sebuah film. Sehingga banyak pertanyaan besar dalam film tersebut yaitu bagaimana film tersebut melihat sisi kawin kontrak? Apakah hanya sebuah petualangan seks semata? Atau menggunakan fenomena masyarakat menjadi alat hiburan?. Kalau jawabannya hanya sebuah hiburan berarti pembuat film tidak melihat detail apa yang akan menjadi efek luas terhadap masyarakat. Karena persepsi yang tercipta akan sangat berbeda dalam massa karena dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan tindakan tersebut dengan dalil petualangan seks.

Secara tidak langsung gambaran film kawin kontrak menegasikan relasi kuasa dalam bentuk wacana seksual dimana peran – peran kelas yang berkuasa semakin dihambakan dan citra gender yang diciptakan dalam film tersebut cenderung merupakan bentukan maskulinitas. Dengan artian perempuan dapat melawan kuasa lelaki namun hanya dengan kekuatan fisiklah hal itu dapat terwujud. Citra gender bukan berarti harus mengikuti bayang – bayang maskulinitas tetapi bagaimana kesetaraan dalam relasi hubungan harus tetap imbang dan dominasi diantaranya tidak saling merugikan. Dapatkah film kawin kontrak menjelaskan hal tersebut atau hanya sebuah hiburan yang sebenarnya terbungkus dalam satu ideologi, jawaban yang masih ditunggu.





Daftar pustaka

Real, Michael R. (1996). Exploring Media Culture. Sage Publications, USA

Ashaf, Abdul firman (2004). Aspek Gender dalam film Indonesia. Univ Lampung

Ritzer, George (2003), Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta


Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...