Tuesday, December 27, 2011

Sebuah ironi akibat iklan

Jumat, 25 November 2011 ribuan orang rela mengantri berdesak-desakan hanya untuk peluncuran sebuah produk telepon pintar Blackberry. Hari itu banyak orang pingsan dan beberapa diantaranya patah tulang, kejadian ini merupakan bagian dari ritual masyarakat sekarang yang sedang demam berkonsumsi.

Masyarakat yang mencari identitasnya dengan mengkonsumsi sebuah benda kemudian mencari referensinya melalui iklan-iklan yang terpampang dalam billboard, majalah, Koran, serta media elektronik. Dengan demikian iklan seperti penyampai pesan berantai yang pesannya begitu cepat diterima massa untuk kemudian cepat pula massa melalukan ritual konsumsinya. Namun kejadian diatas membuat iklan berada pada posisi yang sangat ironis karena dampak dari pesannya menyebabkan sebuah tragedi dan menyebabkan kecelakaan.

Periklanan merupakan bagian dari bentuk komunikasi pemasaran yang setiap pesannya bertujuan untuk memperkenalkan atau mendekatkan suatu produknya kepada masyarakat. Pesatnya perkembanghan industri media dan derasnya produk-produk konsumsi luar negeri yang membanjiri Indonesia saat ini membuat dunia periklanan dituntut lebih kreatif lagi dalam menciptakan image suatu produk. Sehingga kondisi demikian sangat dibutuhkan oleh massa yang saat ini sedang memandang identitas sosialnya dengan berkonsumsi produk-produk yang berlabelkan global dan modern. Meningkatnya jumlah masyarakat yang berkonsumsi saat ini sangat erat kaitannya dengan proses ekonomi politik Globalisasi yang sedang berproses dalam pusaran dunia saat ini. Di mana dalam proses tersebut untuk mempertahankan kondisi perekonomian suatu negara maka diperlukan daya konsumsi yang kuat dari masyarakatnya, hal inilah yang terjadi pada kondisi sekarang ketika daya beli masyarakat dimanfaatkan oleh produsen untuk melanggengkan konsumerisme. Kemudian media massa dalam hal ini iklan menggunakan situasi ini untuk merangsang pola pikir masyarakat agar terus mengkonsumsi suatu produk dan tidak hanya itu saja tetapi menciptakan suatu fenomena histeria karena massa menjadikan suatu produk sebagai berhalanya dengan menganggungkan sebuah label atau brand dari produk tertentu. Keadaan inilah yang menjadi fenomena bagi sebagian masyarakat terutama di wilayah perkotaan, ketika identitas global tercerminkan dengan produk-produk modern dan global apa yang mereka kenakan. Sehingga membuat suatu pandangan bahwa ukuran untuk menjadi masyarakat global adalah dengan mengkonsumsi suatu produk.

Fenomena histeria massa yang terjadi dalam antrian untuk mendapatkan produk Blackberry merupakan sebuah suatu ironi bagi negeri ini ketika masyarakat berada dalam suatu kebimbangan akibat ulah para elitnya yang tidak berhasil memberikan contoh teladan dan sibuk dengan pertarungan untuk kepentingan dirinya beserta politiknya. Masyarakat kemudian mencari ruang yang dapat memenuhi kenyamanan dalam kehidupannya, di mana rutinitas sehari-harinya terasa tidak mendapatkan imbalan berarti dari para pemangku kebijakan sehingga melalui berkonsumsilah salah satu caranya. Konsumsi merupakan hak bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya namun apabila telah menjadi sebuah ritual yang melebihi dari kebutuhannya maka sifatnya berubah menjadi konsumerisme dan iklan menjadi alat bagi pendukung tradisi tersebut.

Iklan merupakan bentuk promosi yang paling efektif untuk menyebarkan suatu produk kepada masyarakat dan sekaligus menciptakan suatu brand yang sekiranya dapat mengena dalam pikiran manusia. Dengan dorongan iklan inilah maka suatu produk dapat dikenal atau melekat dengan masyarakat sehingga mendorong massa untuk mengkonsumsi produknya tersebut. Namun iklan sendiri tidak hanya memiliki fungsi untuk menjual suatu produk kepada kita tetapi menciptakan suatu struktur – struktur makna. Perwujudan struktur makna tersebut yaitu dengan cara mengemas iklan tersebut bermakna sesuatu bagi kita dan sebuah makna tersebut berhubungan dengan sebuah ideologi di mana ketika sebuah iklan berbicara kepada kita. Judith Williamson dalam bukunya Decoding Advertisement menyatakan bahwa “ ketika sebuah iklan berbicara kepada kita, kita secara serentak menciptakan pembicaraan tersebut (yang berarti ditujukan kepada kita), dan kita diciptakan olehnya sebagai pencipta-penciptanya (iklan berasumsi bahwa itu ditujukan kepada kita) sehingga kita dibentuk oleh iklan itu sebagai penerima aktif” (Williamson, 2001:51). Ideologi sendiri berperan hadir dalam menghubungkan makna suatu produk, sehingga masyarakat secara tidak sadar telah menjadi korban dari bujuk rayuan sebuah industri pasar yang menjadikan massa hanya sebagai komoditas bagi produknya.

Kehadiran massa yang begitu antusias demi memuja konsumerisme seperti yang terjadi dalam antrian untuk mendapatkan produk telepon pintar tersebut merupakan keberhasilan dari iklan yang menghipnotis massa dari kesadarannya. Produk Blackberry sendiri merupakan satu rangkaian dari ideologi pasar bebas atau neoliberalisme yang menggunakan beragam cara untuk terus meraup keuntungan demi segelintir orang kemudian memanfaatkan massa untuk menjadi pendukungnya. Kalau sudah seperti ini sangatlah ironi bagi dunia periklanan karena apa yang mereka promosikan kemudian menjadi suatu malapetaka, iklan yang hanya menjual image atau brand suatu produk tidak memiliki daya mengontrol efek dari promosinya. Sementara masyarakat akhirnya memanfaatkan iklan sebagai pelarian dari ketidakjelasan negara dalam menghadapi globalisasi neoliberal tersebut karena dengan cara persuasif ini iklan lebih dipercaya oleh masyarakat sebagai kita suci identitasnya. Semoga dengan kejadian antrian untuk mendapatkan Blackberry tersebut menjadi bahan refleksi untuk kita semua bahwa konsumerisme telah menjadi bahaya laten nasional.

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...