Tuesday, March 06, 2012

Presiden SBY dan Sorotan Media

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini seperti terjebak oleh slogan dan jargon kampanye politiknya mengenai pemberantasan korupsi. Partai yang didirikannya menghadapi badai dugaan korupsi yang dashyat sehingga menjadi polemik dalam perpolitikan internal maupun eksternal, kadernya seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh telah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Sedangkan beberapa nama lainnya seperti Ketua Umum Anas Ubaningrum diduga tersangkut pula dalam kasus ini.
Kasus korupsi tersebut menjadi semakin seksi dibicarakan oleh media karena partai ini dalam salah satu iklan kampanye politiknya menggunakan jargon anti korupsi dengan menampilkan sosok petinggi partai tersebut. Permasalahan ini kemudian menjadi sangat ramai dibicarakan dalam media massa, bukan hanya karena Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu melainkan juga sosok SBY yang menjadi ikon berdirinya partai tersebut.

Sejak Pemilu 2004, pemberitaan mengenai sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewarnai beragam media di Indonesia. Koran, radio, dan televisi tidak berhenti memuji dirinya yang terlihat memiliki kecakapan dalam memimpin, apalagi beliau berasal dari kalangan militer. Media kemudian merepresentasikan SBY melalui beragam foto ataupun kegiatan yang melegitimasi bahwa beliau sudah pantas memimpin Indonesia yang kala itu masih mengalami kebimbangan dalam kehidupan transisi demokrasi.

Momentun pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali diadakan sejak reformasi tahun 2004 membuat sosok SBY semakin populis dan berhasil memimpin negeri ini bersama wakilnya saat itu, Jusuf Kalla. Kebijakan pemerintah kemudian menjadi sorotan media, secara berkesinambungan media mencitrakan bahwa Presiden SBY telah berhasil membawa Indonesia menuju perubahan.
Kritikan media kemudian mulai berkembang ketika Istana mewajibkan para jurnalis yang ingin meliput kegiatan kepresidenan harus mengenakan pakaian jas dan blazer. Namun, yang tidak kalah menariknya yaitu ketika tindakan Jusuf Kalla dalam beberapa kebijakan dan kesempatan lebih cepat dari dirinya, media pun saat itu mulai membahas karater presiden yang lambat laun terlihat seperti bergerak lamban.
Di saat itulah media mulai membandingkan SBY dengan wakilnya yang bergerak lebih cepat apalagi saat itu banyak bencana alam yang terjadi seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan Padang.
Sorotan media yang begitu aktif memberitakan pemerintahan SBY membuat segala tindakannya mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan hanya sebagai sosok seorang presiden, melainkan juga karena sejak awal media telah mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang hangat dan menjadi harapan masyarakat.

Tetapi, satu per satu permasalahan di sekitar dirinya mulai menjadi komoditas media mulai dari kasus korupsi yang menimpa besannya, Aulia Pohan, kasus Antasari Azhar, Bank Century dan yang paling terbaru adalah skandal korupsi di tubuh partainya. Selama 8 tahun pemerintahan SBY berjalan baik bersama Jusuf Kalla ataupun Boediono, media sangat detail dan begitu mendalam memberitakan jalannya roda pemerintahan.

Ada yang mendukung serta tidak sedikit yang mengkritisi secara terbuka dalam beragam ruang media. Sosok SBY pun seperti menjadi tontonan dalam media karena setiap tindakannya selalu menarik untuk menjadi bahan berita. Meski ini mungkin adalah kerja dari para konsultan media di sekitarnya, tetapi yang jelas beliau telah menjadi konsumsi media dalam ranah politik.

Televisi, radio, film, serta produk budaya media lainnya merupakan sarana bagi seseorang merepresentasikan identitas, kedirian, gagasaan atau bahkan kelas, ras, kebangsaan dan etnisitasnya. Media kemudian membantu untuk membentuk pandangan kita terhadap sesuatu hal yang baik atau buruk, positif atau negatif serta bermoral dan tidak bermoral.

Dengan media pula, kita dipertontonkan hal-hal di atas sehingga persepsi terhadap sosok seseorang tergantung dari bagaimana media itu merepresentasikannya. Para jurnalis mungkin hanya menyajikan sebuah fakta yang ada atau mungkin para konsultan komunikasi mempunyai akses yang luas kepada media sehingga wartawan disuguhkan sebuah konsumsi informasi yang telah dikonstruksi sebelumnya.
Budaya media menurut Douglas Kellner (1996), menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi hiburan, membentuk opini politik, dan perilaku sosial, hingga memberi suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Kellner juga menyatakan bahwa budaya media merupakan area konstestasi di mana kelompok-kelompok sosial yang kuat dan ideologi politik saling bersaing berjuang untuk menjadi yang dominan, sedangkan masyarakat bisa ikut merasakan perjuangan identitas ini melalui imaji-imaji, wacana, mitologi, dan tontonan yang diketengahkan oleh media. Kemudian, lewat narasi, adegan, dan gambar yang ditampilkan, sosok seseorang akan terlihat akan lebih dekat dengan masyarakat atau bahkan menjadi sensasi tersendiri bagi audiens yang menontonnya.

Pernyataan di atas sepertinya terjadi pada diri SBY, di mana melalui media beliau mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang layak memimpin negeri ini. Namun, di sisi lain, media dengan segala kepentingan ekonomi politiknya juga menyerang gaya kepemimpinannya.
Sedangkan audiens hanya menjadi penonton yang menikmati sensasi-sensasi narasi yang ditampilkan dalam media khususnya televisi. Sementara banyak pekerjaan rumah dalam negeri ini yang masih belum terselesaikan hingga membuat permasalahan semakin menumpuk dan masyarakat juga semakin berteriak karena kebutuhan hidupnya yang makin mahal.

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...