Sunday, July 08, 2012

Jakarta sebagai Arena Konsumerisme


Tulisan Airlangga Pribadi tanggal 2 Juni 2012 berjudul “Jakarta Sebagai Episentrum Perubahan” menarik untuk ditanggapi. Pandangan beliau mengenai kota Jakarta yang butuh pemimpin yang dapat membawa perubahan di era globalisasi patut dijadikan bahan refleksi bersama. Kehidupan kota Jakarta yang sedang mengikuti irama kota-kota besar dunia seperti New York, Hongkong, Singapura terkadang mengorbankan kelompok yang lemah dalam praktek pembangunannya. Dalam paparannya Airlangga Pribadi menggambarkan bagaimana Jakarta yang sekarang berada di pusaran globalisasi membutuhkan sosok pemimpin yang peduli dengan rakyatnya bukan hanya memikirkan kemajuan sebuah kota besar, beliau kemudian menyebut nama Jokowi sebagai orang yang dianggap pro dengan rakyat dan bisa menjadi pemimpin alternatif untuk Jakarta karena keberhasilannya memodernisasi pedagang pasar tradisional di Solo, Jawa Tengah. Penulis bermaksud untuk memberikan beberapan tambahan dan mengkritisi pandangan beliau yang bagi penulis perlu ada beberapa penjelasan khususnya mengenai konsep globalisasi berkeadilan yang menjadi rujukan dari tulisan tersebut.

Terintegrasinya dunia dalam satu tatanan sistem globalisasi adalah hal yang fenomena pada awal abad 21 ini para politisi, ekonom, akademisi, masyarakat perkotaan, anak sekolah dan hampir seluruh masyarakat mempunyai argumentasi tersendiri dalam membicarakan kata globalisasi tersebut. Paham ini membutuhkan penopang di suatu negara agar nilai-nilai dari globalisasi tersebut diterima oleh masyarakat luas dan perkotaan merupakan salah satu penopangnya. Kota menjadi ruang bagi pasar bebas untuk mengimplementasikan aturan beserta nilai-nilai yang dikandungnya, maka tidak mengherankan apabila ruang-ruang imajiner dibangun dalam suatu kota besar. Berdirinya mall, galeri, kafe dengan brand luar negeri, dan restoran cepat saji begitu pesat dibangun dengan suasana urban seperti di kota-kota besar negara barat sehingga masyarsakat perkotaan memiliki persepsi bahwa gaya hidupnya sudah sesuai dengan global. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Jakarta telah dipersiapkan sebagai kota yang mengikuti arena tersebut sehingga tidak jarang orang banyak mengatakan bahwa ibu kota negara ini menjadi sarang konsumerisme karena seluruh gaya hidup yang terkesan global tersebut tersedia dalam berbagai bentuk. Masyarakat perkotaan kemudian menyimbolkan suasana global tersebut dengan brand atau merk yang terpampang mulai dari fashion hingga kuliner.

Dalam hal berdemokrasi masyarakat perkotaan lebih banyak mempelajarinya melalui ruang perdidikan, representasi media elektronik baik berupa talk show televisi, diskusi radio dan lain sebagainya. Demikian juga yang terjadi dalam ruang demokrasi jalanan Jakarta di mana semua aliran politik hingga agama mempertunjukkan aksinya untuk memperjuangkan haknya dengan bentuk yang beraneka macam. Ruang publik kota mempersilahkan aksi-aksi tersebut dengan dalil demokrasi karena selera pasarlah yang menentukan aksi tersebut bermanfaat atau tidak, hal ini menyebabkan isu-isu yang dibawa demonstran terkadang menjadi bahan komoditas politisi.

Ruang publik yang ada dalam kota Jakarta pun lebih di dominasi oleh media luar ruang seperti baliho, papan reklame, hingga mural-mural yang merepresentasikan modernitas masyarakat perkotaan sehingga identitas bersama yang dirasakan oleh warga Jakarta adalah berbentuk hal-hal yang telah termaterialkan dan berhasil tergambarkan oleh media sehingga kembali lagi mata masyarakat menjadi komoditas suatu produk. Dengan ruang yang sarat dengan situasi pasar tersebut muncul juga benih-benih kemarahan masyarakat yang hal ini tercermin dari kefrustasian masyarakat perkotaan menghadapi permasalahan seperti mudah marah ketika bersenggolan kendaraan bahkan perkelahian pelajar yang tak kunjung berhenti dari masa ke masa. Inilah potret kota Jakarta yang dikonstruksikan oleh para pemimpinya sebagai wilayah modern yang ingin disejajarkan dengan kota-kota besar di seluruh dunia, sehingga urbanisasi menjadi harapan bagi banyak orang di pedesaan karena kota menawarkan hal impian yang begitu luas. Impian tersebut ternyata hanyalah sekedar pemanis saja karena penguasa akses ekonomi di perkotaan masih dikuasai oleh para pemilik modal atau hanya orang-orang kaya saja sedangkan masyarakatnya diberikan terus impian akan nikmatnya hidup di perkotaan. David Harvey dalam buku terbarunya berjudul Rebel Cities (2012) menyatakan bahwa kualitas kehidupan perkotaan telah menjadi komoditas bagi mereka dengan uangnya, karena rasa memiliki perkotaan itu di mana konsumerisme, pariwisata, budaya, dan pengetahuan industri menjadi tontonan ekonomi dan telah menjadi aspek utama ekonomi politik.

Dari gambaran ini sangat sulit mencari sosok pemimpin Jakarta yang memikirkan benar kebutuhan dasar masyarakatnya karena akan berhadapan dengan kepentingan modal yang begitu besar. Sosok Joko Widodo yang menurut Airlangga Pribadi mampu mengatasi serangan globalisasi tersebut karena sudah teruji di kota Solo itu masih perlu diperdebatkan. Bagi penulis sosok Jokowi tidaklah mampu untuk mengurusi permasalahan kota Jakarta. Karena kota ini sarat dengan banyak kepentingan ekonomi politik sehingga bisa saja sosok pemimpin yang bersih dan idealis akan terbawa arus kepentingan atau malah terus diganggu oleh beragam persoalan. Momentum pilkada DKI kali ini hanya menjadi ajang perebutan modal untuk menguasai wilayah ibu kota, karena dengan APBDnya terbesar di Indonesia yakni mencapai 36 triliun rupiah maka perlu pengelolaan keuangan yang transparan agar tidak terjadi korupsi baik yang dilakukan oleh individu maupun partai politik pendukungnya. Yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah kenyamanan bagi warganya yang beraktivitas baik di dalam rumah maupun di luar rumah, karena masyarakat merasa terancam oleh berbagai permasalahan kota seperti kemacetan, kriminalitas, demonstrasi, konflik sosial, standar kehidupan dan lain sebagainya. Pilkada DKI harus melahirkan pemimpin yang dapat menyadarkan masyarakatnya semangat kebersamaan dan menghapus ilusi konsumerisme yang melanda warga Jakarta. Semoga ini dapat menjadi bahan catatan kita semua.

Monday, July 02, 2012

Memudarnya Politik Pencitraan


Politisi saat ini mendapat penurunan popularitas di mata masyarakat, ini terbukti pada survey dari berbagai lembaga yang mengindikasikan hal tersebut. Masyarakat mengalami kekecewaan yang begitu besar dengan kiprah para politisi dan partainya yang semakin menjauh dari problematika kehidupan sehari-hari, anggota partai maupun elit politik di kekuasaan tidak pernah membahas hal-hal yang krusial di masyarakat. Elit politik lebih banyak membahas kasus-kasus yang lebih membela kepentingan partai, kelompok, maupun institusinya. Sehingga di media kita dipertontonkan suatu pertikaian elit yang tak kunjung henti tanpa mengetahui maknanya bagi khalayak umum meski para politisi berdalil bahwa ini bagian dari demokrasi dan perdebatan terjadi akibat regulasi yang tidak pro rakyat. Para politisi lebih menampilkan performa dirinya baik dalam bicara, sikap tubuh, dan mungkin berpakaian ketika berhadapan dengan media sehingga kita tidak pernah melihat isi pemikiran sosok politisi tersebut. Bila kondisinya demikian adalah wajar jika masyarakat saat ini mempertanyakan kiprah para penggiat politik di lembaga negara tersebut karena tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Persoalan diatas merupakan buah dari model kampanye politik yang lebih mengedepankan jargon dibandingkan gagasan yang konseptual, pernyataan ini bisa dibuktikkan ketika berlangsungnya pemilihan umum dan kepala daerah. Di mana para calon pemimpin lebih banyak mempromosikan dirinya melalui berbagai bentuk media seperti poster, selebaran, baliho dan lain sebagainya yang memenuhi hampir seluruh ruang publik. Dalam iklan di ruang publik tersebut mereka hanya menampilkan sosok dirinya dan kalaupun ada tagline politik itu pun hanya sebuah slogan yang lebih mudah diingat oleh masyarakat. Sehingga publik mengingat kandidat hanya dari performanya di media atau ketika tampil dengan karakter yang sudah dikonstruksikan sebagai sosok yang cakap. Esensi dari program politik yang ditawarkan juga tidak begitu menyetuh realita, mereka lebih menyukai dengan jargon-jargon yang sekiranya mudah dimengerti sehingga masyarakat hanya disuguhkan sebuah image yang semu seperti mereka membeli suatu barang yang belum tentu ada manfaat bagi dirinya.

Para pelaku politik baik pemimpin daerah maupun nasional banyak menggunakan strategi berkomunikasi tersendiri agar dirinya mendapat dukungan luas di masyarakat. Bentuk-bentuk komunikatif seperti terjun langsung bertemu konstituen, mengadakan lomba, pengajian hingga menghadiri pesta pernikahan merupakan bentuk komunikasi politik yang sering dilakukan oleh para calon pemimpin tersebut. Dengan tujuan untuk membuat citra di masyarakat bahwa calon tersebut dekat dengan konstituen serta memiliki basis massa yang nyata. Sarana lain sebagai penunjang hal tersebut yaitu dengan spanduk dan umbul-umbul yang turut meramaikan suasana kehadiran para calon pemimpin tersebut. Para calon pemimpin ini terkadang menggunakan cara-cara beriklan ketika berkampanye seperti menjual suatu produk dipasaran kemudian dengan bentuk kemasan yang menarik maka produk tersebut dapat di konsumsi oleh masyarakat, meskipun begitu massa hanya dapat merasakannya secara semu karena tidak memahami secara benar apakah produknya itu sesuai dengan kebutuhannya.

Iklan merupakan suatu bentuk promosi suatu barang atau jasa untuk menarik masyarakat memilih produknya sehingga laku terjual. Perkembangan industri periklanan yang cukup pesat saat ini membuat cara – cara berpromosi iklan semakin dibutuhkan, bentuk yang dipromosikannya bisa cukup beragam salah satunya berupa sosok individu yang mempromosikan dirinya demi kepentingan sosial maupun politik. Bila dalam promosi suatu produk citra yang ditampilkan berupa barang yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia maka pada promosi individu sosok dari orang tersebut yang dicitrakannya agar masyarakat dapat memilihnya dalam kontes demokrasi baik pemilu maupun pilkada. Dunia periklanan adalah sebuah arena yang semu karena apa yang ditampilkan kepada kita terkadang tidak berdasarkan sesuai kenyataan, bagi Judith Williamson dalam “Decoding Advertisements” (1978) iklan tidak hanya memiliki fungsi untuk menjual produk kepada kita tetapi iklan menciptakan suatu struktur-strukur makna. Struktur tersebut adalah ideologi di mana perwujudannya berupa cara mengemas iklan tersebut bermakna sesuatu bagi kita (1978: 51). Sebagai contoh suatu produk perhiasan di maknai sebagai kemewahan dan kemegahan atau sosok seseorang digambarkan sebagai figur yang merakyat, keduanya memiliki konsep pemikiran yang sama yaitu pencitraan.

Pencitraan merupakan suatu hal yang umum dalam dunia promosi karena hanya dengan cara demikian maka suatu produk dapat populer. Namun apa jadinya bila ini terjadi pada dunia politik yang notabene membutuhkan efek nyata untuk masyarakat bukan ilusi-ilusi yang dikemas sedemikian rupa oleh para tim sukses. Pencitraan dalam dunia politik bagi sebagian elit partai merupakan suatu hal yang biasa dan menjadi simbol bagi dirinya di masyarakat luas. Tetapi bagi masyarakat politik itu harus dapat menjadi pilar perubahan bagi kondisi kehidupannya bukan sekedar janji manis yang membuai atau sekedar memanfaatkan mereka untuk mendulang suara. Jangan jadikan masyarakat seperti konsumen yang dimanfaatkan oleh iklan untuk membeli suatu produk karena cara demikianlah yang membuat politik uang semakin besar sehingga berujung dengan korupsi ketika sudah terpilih hal inilah yang kemudian menyebabkan politik kini mendapatkan citra yang buruk.
Memburuknya citra politik ini tidak hanya hanya karena prilaku dari sebagian indvidunya yang hanya mementingkan dirinya tetapi kondisi demikian didukung oleh model kampanye politiknya yang memandang massa sebagai komoditas atau konsumen. Sedangkan para politisi ditampilkan seperti suatu produk yang harus dibeli dengan jaminan bahwa produknya adalah nomor satu. Para calon dan politisi sekarang yang sebentar lagi akan mulai berkampanye baik pemilu legislatif maupun eksekutif mendatang harus lebih mendekatkan diri dengan masyarakat bukan dengan cara-cara seperti beriklan. Karena pendekatan dengan masyarakat itu lebih penting selain itu para calon pemimpin di negeri ini juga harus berpikir bagaimana menjadi bagian dari masyarakat bukan memandang bagaimana masyarakat dapat memilih dirinya. Dalam sejarahnya pemimpin lahir karena mereka merasa bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat dan melalui proses alamiah mereka lahir sebagai pemimpin yang dicintai rakyatnya.

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...