Friday, September 21, 2012

Membaca Pilihan Politik Kelas Menengah


Oleh Meistra Budiasa

Kemenangan Jokowi pada pilkada DKI putaran pertama menyentakkan banyak pihak. dengan hasil suara yang diperoleh mencapai 45 % (hasil resmi KPU) membuat para analis, politisi, media massa, masyarakat membahasnya dengan beragam interpretasi. Kemenangan tersebut menjadi menarik dibicarakan bukan tanpa alasan karena sosok Jokowi sebagai walikota Solo yang berhasil menciptakan kejutan dalam kepemimpinannya. Masyarakat mulai mengenal beliau ketika dirinya berhasil menciptakan proyek mobil nasional yang bernama Esemka sebagai cita-cita membangun industri otomotif nasional. Gebrakan tersebut seperti memukul kepemimpinan nasional yang terkesan tidak mempunyai visi dan misi dalam membangun industri nasional terutama pemerintahan pusat yang dalam hal ini berada di pusat ibu kota negara Jakarta. Langkah yang dilakukan oleh Jokowi tersebut seperti mewacanakan bahwa para pemimpin di pusat terutama di Jakarta hanya sibuk berwacana politik dan hanya memikirkan kepentingan pribadinya saja tanpa memiliki tindakan nyata dalam membangkitkan perekonomian nasional dengan menciptakan karya sendiri. Sosok Jokowi sebagai ikon perubahan dan jati diri bangsa semakin menguat ketika beliau mengendarai sendiri mobil Esemka tersebut dari Solo ke Jakarta untuk mendapatkan ijin dari pemerintah agar dapat menjadi salah satu proyek mobil nasional. Gambaran tersebut mendapat simpati banyak pihak terutama masyarakat yang sudah bosan dengan kondisi sosial politik yang tak kunjung berubah sehingga mereka mengharapkan sosok orang yang dapat berbuat nyata untuk bangsa.

Bagi sebagian besar masyarakat perkotaan yang penuh dengan berbagai rutinitas pekerjaan serta kehidupannya yang monoton memaknai perubahan sangatlah berarti, karena mereka menginginkan suatu kepastian jalannya roda pemerintahan sehingga tindakan nyata lebih dilihat daripada sekedar wacana. Pandangan ini mungkin dimiliki oleh berbagai kelompok sosial di wilayah perkotaan terutama kelas menengah yang pertumbuhannya selalu meningkat setiap tahunnya. Kelas menengah khususnya di wilayah perkotaan membutuhkan sarana dan prasana yang menunjang rutinitasnya seperti pelayanan publik yang memuaskan mereka sehingga tidak menghalangi kegiatan sehari-harinya sebagai contoh kemacetan, transportasi umum yang tidak memadai, serta kepengurusan adminitrasi publik yang mudah. Maka melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerahlah kelas menengah ini menyuarakan ekspresinya sebagai bagian dari eksistensinya dalam dunia politik. Meskipun politik bagi kelas menengah terkadang hanya bagian dari seremonial berdemokrasi namun yang menariknya kelompok tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam suara politik baik dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah seperti yang terjadi pada pilkada DKI putaran pertama beberapa waktu lalu di mana pemilih Jokowi kebanyakan berasal dari kelas menengah. Meski tidak begitu fenomenal tetapi kelas menengah dari masa ke masa selalu menarik untuk diperbincangkan khususnya dalam memandang ideologi apa yang mereka miliki dalam menentukan suaranya.

Kelas Menengah di Indonesia dari Orde Baru hingga Reformasi
Kelas menengah di Indonesia mulai terdefinisikan ketika Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto memberikan banyak fasilitas dan tempat kepada mereka hal ini untuk menopang jalannya roda pembangunan negara. Kelompok menengah ini terdiri dari para eksekutif muda yang bekerja di pusat kota atau para lulusan sarjana yang memiliki gaya hidup metropolitan (Robinson, 1986). Pada era Orde Lama kelompok ini mungkin tidak banyak dibicarakan karena pada masa itu penuh dengan gejolak ideologi politik sedangkan pada era Soeharto mereka diberikan kemudahan posisi seperti menjadi tim penasihat pada pemerintahannya maupun dukungan fasilitas yang menunjang bagi kelompok ini seperti pembangunan kota lengkap dengan sarana prasarana yang bercirikan metropolitan dan global. Ruang gerak yang diberikan Orde Baru tersebut juga berupa pemberian lapangan kerja yang luas kepada para lulusan sarjana muda agar pertumbuhan perkotaan lebih dikedepankan dan dapat menjadi barometer bagi daerah di Indonesia. Konsep pembangunan yang sentralistis di kota besar inilah yang menyuburkan tumbuhnya kelas menengah perkotaan apalagi saat itu Indonesia mendapat keuntungan dari naiknya harga minyak dunia yang terkenal dengan periode boom oil pada tahun 1978. Salah satu ciri dari kelas menengah perkotaan yaitu sering kumpul di kafe-kafe bermerk internasional, sering pergi ke mall, maupun ruang publik yang terkesan ekslusif di kawasan perkotaan, mereka lebih mengutamakan gaya hidup yang cenderung terkesan masyarakat perkotaan. Namun pada tahun 1998 kelompok menengah ini menjadi salah satu penopang bagi perubahan di Indonesia ketika mereka secara serentak menolak kepemimpinan Soeharto karena pemerintahannya yang tidak demokratis serta lebih mengedepankan kroni dan keluarganya dalam memanfaatkan fasilitas negara.

Pasca Orde Baru atau era reformasi dan demokrasi saat ini, kelas menengah kembali menjadi sorotan dari komunitas politik dan media. Kelas menengah pada masa saat ini kembali memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial politik Indonesia yang bagi sebagian orang masih dikatakan sebagai era transisi. Bank Dunia bahkan memperkirakan jumlah kelompok menengah ini sekitar 135 juta jiwa dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Perkembangan didorong oleh sistem ekonomi neoliberal di mana kelompok menengah menjadi sasaran konsumsi dari paham tersebut sehingga kondisi pasar tetap terjaga.

Jumlah kelas menengah sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini dalam segi ekonomi mengalami banyak peningkatan bahkan cenderung terus tumbuh namun secara politik kelompok ini cenderung tidak dapat dikendalikan secara penuh oleh partai politik mereka lebih bersifat konservatif dalam menghadapi persoalan bangsa. Dalam survey litbang Kompas mengenai kelas menengah 2012 menemukan bahwa kelas menengah di Indonesia mencapai 50.3 persen dan ini dicirikan dengan rata-rata pendidikannya setingkat SMA, dengan penghasilan Rp. 1,9 Juta per bulan serta pengeluaran Rp. 750 ribu – Rp. 1,9 Juta per bulan (Kompas, 2012). Yang lebih mengejutkan secara politik mereka cenderung apatis dan belum mau bergerak mengorganisasikan diri untuk perubahan. Kelompok menengah masih menikmati indahnya gaya hidup perkotaan dan identitas global seperti mengkonsumsi barang, kuliner, gaya hidup maupun jenis pekerjaan yang menyimbolkan bahwa dirinya adalah masyarakat global. Mungkin ini akibat dari tidak jelasnya arah negara ketika berhadapan dengan globalisasi yang sudah semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga kelompok menengah ini tidak begitu menghiraukan apa yang terjadi pada kondisi sosial politik. Meski demikian mereka masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan daerah.

Pilihan politik kelas menengah
Berkaca dari putaran pertama pilgub DKI di mana kelas menengah mulai bersuara dengan memilih Jokowi yang sempat tidak diperhitungkan sebelumnya maka penulis memandang bahwa kelompok menengah ini secara tersembunyi sudah memiliki sikap politik. Biarpun mereka digambarkan sebagai kelompok yang apatis namun mereka masih ingin memiliki eksistensinya dengan berpartisipasi dalam demokrasi prosedural yakni pemilihan umum. Mereka ingin mendapat pengakuan sebagai kelompok yang berpengaruh terhadap perubahan karena peran kelompok ini terasa diperhitungkan oleh berbagai komunitas politik. Gambaran ini bagi penulis memperlihatkan bagaimana kelas menengah secara sadar memposisikan dirinya sebagai kelompok yang ingin diperhitungkan dalam kehidupan bernegara, ini terbuktikkan ketika mereka sering berkicau di media sosial tentang permasalahan kehidupan sehari-hari yang dekat dengannya. Mereka tidak membutuhkan wacana-wacana politik tapi menginginkan figur pemimpin yang dapat bekerja keras untuk bangsanya karena bagi kelas menengah negara sudah memiliki sistem yang ajeg sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.

Sikap pragmatis dan praktis inilah yang dimiliki kelas menengah perkotaan, mereka adalah kelompok yang memandang negara berdasarkan pengalaman hidup kesehariannya bukan dengan jargon-jargon ide maupun teori. Jadi ketika anda bisa bekerja dengan jujur, keras, profesional, dan mengabdi maka akan menjadi pilihan tepat bagi kelas menengah. Sebaliknya jika para pemimpin hanya sibuk berdebat dengan isu yang tidak ada ujungnya atau berwacana visi misi politik belum tentu kelompok ini tertarik dengan hal tersebut. Mereka sudah lelah dengan berbagai aktivitas yang menyita waktu berpikirnya karena setiap hari mereka beraktivitas mulai dari bekerja hingga berkonsumsi di hari libur. Sehingga politik hanya sebagai bagian dari seremonial mereka dalam kehidupan bernegara yang kebetulan tersalurkan pada pemilihan umum, daerah, desa, RT, dan RW. Mereka masih cukup rentan dengan pencitraan iklan-iklan politik karena kebiasaan kelompok ini berkonsumsi dan memandang citra suatu produk lebih berarti daripada isinya. Pemilihan putaran kedua gubernur DKI adalah salah satu ujian kembali bagi kelas menengah apakah mereka masih diperhitungkan ataukah justru tidak menentukan pilihan, atau mungkin mereka memilih berdasarkan pencitraan?, sebagai penutup penulis memandang bahwa mereka mungkin tidak peduli dengan perdebatan isu-isu politik nasional tetapi mereka peduli ketika ada sosok yang dapat bertindak nyata. Semoga dapat menjadi refleksi untuk pemilu 2014...

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...