Tuesday, August 14, 2012

Survey Politik dan Representasi Media

-->
Survey politik dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar guna mengetahui elektabilitas calon pemimpin maupun partai politik. Melalui survey maka para penggiat politik akan lebih bekerja keras membangun basis organisasi dan merancang strategi jitu untuk memenangkan pemilihan umum. Di berbagai belahan dunia survey menjadi rujukan bagi semua kompetitor politik untuk mengetahui peta kekuatannya dan kemudian dijalankan menjadi agenda kampanye. Survey dilakukan oleh lembaga kredibel dan memiliki reputasi yang berpengalaman dalam komunitas politik, tidak sedikit dari lembaga-lembaga ini memiliki koneksi dengan para pemimpin politik sehingga perannya dapat menjadi konsultan.

Di Indonesia, hiruk pikuk pemilihan umum nasional masih dua tahun lagi, namun sudah diramaikan oleh berbagai hasil survey yang telah menggambarkan beberapa tokoh untuk menjadi pemimpin pada 2014 yang akan datang. Partai politik yang diperkirakan unggul pun sudah bisa digambarkan melalui survey ini bahkan belakangan hasilnya banyak menjadi rujukan bagi partai politik untuk bekerja keras mengambil hati dan simpati masyarakat. Para lembaga survey tersebut biasanya menggunakan pers sebagai institusi yang dianggap dapat menyebarkan hasil kajiannya kepada khalayak umum sehingga persepsi atas seseorang tokoh atau organisasi politik bisa lebih mengena. Saluran media merupakan hal yang paling tepat untuk sosialisasi hasil polling dari berbagai lembaga yang kredibel dibidangnya tersebut. Selanjutnya dapat ditebak sendiri bahwa media massa (khususnya televisi) kemudian memberitakan dengan berbagai kepentingannya.

Hasil dari survey politik ini menjadi perbincangan dan wacana dalam media televisi dalam beberapa bulan ini, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika beberapa lembaga survey mengeluarkan hasil kajiannya terhadap calon presiden RI 2014 mendatang. Beberapa nama tokoh baik masa lalu maupun sekarang masuk dalam bursa capres dengan elektabilitas pemilih yang bervariasi dan menariknya salah satu tokoh yang mempunyai hasil survey tertinggi memiliki catatan masa lalu yang kelam yakni penculikan aktivis dan pembungkaman demokrasi. Masyarakat seakan dipersepsikan sudah melupakan tragedi kelam tersebut namun berkat konstruksi media maka perbincangan dosa masa lalu telah terpinggirkan oleh kontestasi antar lembaga survey yang saling bersahutan mempublikasikan hasil kajiannya. Hasil survey ini kemudian menjadi komoditas informasi bagi industri media televisi dengan beragam kepentingan ekonomi politiknya, survey tersebut menjadi alat kekuatan para pemilik media yang memiliki akses dan jaringan luas terhadap berbagai kalangan. Hasil survey politik direpresentasikan oleh media televisi melalui bermacam program baik berita, talkshow, ataupun parodi politik. Sebagai ruang wacana bagi masyarakat mungkin sah saja media massa menggambarkan hasil survey politiknya untuk rujukan pemilih, namun yang menjadi permasalahan ketika menjadikan hasil survey tersebut sebagai alat konstruksi berpikir kepada masyarakat agar terfokus kepada salah satu calon ataupun partai politik tertentu. Peran media yang seharusnya dapat mencerahkan berubah menjadi tunduk kepada kepentingan politik tertentu, secara umum mungkin tidak terlihat bagaimana media tersebut mendukung tetapi hal ini terlihat dari representasi kontennya yang disampaikan kepada khalayak.
Konsep representasi dalam media tidak sekedar mereproduksi atau menampilkan kembali sesuatu fakta kepada khalayak, tetapi melalui beragam konsepnya representasi menghadirkan makna tertentu kepada kita. Konsep representasi Stuart Hall dengan pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna dibuat oleh pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki (Hall, 1997:25). Makna tersebut digunakan untuk merepresentasikan konsep tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat dapat menentukan maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem representasi yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika seorang presenter televisi mempertanyakan hasil survey terhadap suatu partai yang sedang terpuruk dengan beragam pertanyaan yang lebih menyudutkan partai tersebut. Melalui narasi yang disampaikannya itu maka secara tidak langsung konstruksi makna telah tercipta dan audiens televisi dapat memaknainya dengan tersendiri. Berdasarkan konsep inilah maka survey politik ketika masuk kedalam ruang media televisi sangat rawan akan manipulasi bahasa sehingga pemirsa dibawa kedalam permainan kuasa bahasa yang muaranya mengarah kepada kekuatan tertentu. Tentunya tidak seluruh media merepresentasikan hal demikian namun melihat peta industri televisi yang saat ini dikuasai oleh para politisi maka akan rawan manipulasi. Meski demikian masih ada beberapa media massa yang menjadikan survey politik hanya untuk wacana di masyarakat tanpa memiliki kepentingan pribadi politiknya.

Lembaga survey politik sendiri bagian yang cukup penting dalam menentukan peta politik nasional namun mungkin lebih dituntut untuk lebih independen dan bebas dari kekuatan politik sehingga hasilnya benar-benar untuk pencerahan masyarakat. Masalahnya banyak lembaga survey yang saat ini menjadi konsultan politik dan membutuhkan media agar lebih mengena strategi kampanyenya sehingga lembaga tersebut akhirnya hanya sebagai sebuah event organizer yang menjadi salonnya para calon pemimpin maupun mencitrakan suatu partai politik. Kolaborasi antara konsultan politik dan media inilah yang kini marak dalam ruang politik Indonesia saat ini, seperti rahasia umum lembaga-lembaga ini lahir dari situasi pasar yang memungkinkan di negeri ini. Di mana para politisi memanfaatkan lembaga konsultan dan riset politik sebagai alat ukur mereka memenangkan percaturan politik dan menggarap media massa untuk mempromosikan isu-isu yang dibawanya. Sehingga secara tersirat media massa tergiring isunya oleh kolaborasi antara konsultan dan calon tersebut, membuat narasi yang direpresentasikannya cenderung tidak objektif serta memanipulasi kebenaran.


Berkembangnya industri konsultan dan riset di Indonesia hendaknya dibarengi dengan penyadaran politik kepada masyarakat agar partisipasi politik dalam bernegara lebih meningkat. Sementara media sebaiknya berperan aktif dalam membahas maupun mengkritisi hasil survei tersebut agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang serta dapat memilihnya dengan rasionalitasnya. Apabila survey politik tetap berperan sebagai konsultan yang tidak konstrukstif dengan representasi media yang juga tidak kapabel maka lahirlah sosok orang pemimpin yang tidak terduga seperti yang terjadi pada pilkada DKI saat ini. Semoga para konsultan dan pembuat survey politik menyadari hal ini.

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...