Thursday, May 30, 2013

Melestarikan Status Elit Politik di Tayangan Berita TV

Menyaksikan tayangan berita di televisi sekarang ini kita disuguhkan oleh konflik politik yang melibatkan para elit negara. Semakin lama cenderung berita di televisi menayangkan beragam wacana kepada kita yang mungkin bertujuan untuk melibatkan secara aktif partisipasi publik serta secara terbuka memberikan informasi kepada masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan negara. Dalam era demokrasi, partisipasi publik dalam menentukan kebijakan ataupun menyikapi suatu persoalan negara sangatlah menentukan bagi jalannya roda pemerintahan. Apalagi diiringi dengan berkembangnya industri media khususnya televisi membuat informasi kepada publik semakin gencar ditayangkan, hal tersebut kemudian didukung dengan dijadikannya pers sebagai bagian dari pilar demokrasi. Sebagai salah satu penopang demokrasi tentunya pers memiliki peran penting bagi jalannya sistem tersebut. Tidak mengherankan di Indonesia ketika hadir era reformasi yang dalam satu agendanya yakni pemerintahan yang demokratis posisi pers menjadi begitu penting untuk memberikan keterbukaan kepada publik. Berkembang pesatnya industri media merupakan salah satu bagian terpenting dari berjalannya demokratisasi di suatu negara, meskipun secara ekonomi politik masih menjadi perdebatan. Hadirnya berbagai media televisi yang secara khusus menayangkan program berita di Indonesia merupakan suatu fenomena yang berkembang pesat di era keterbukaan saat ini. Dengan semangat era keterbukaan informasi ini stasiun televisi bersaing dalam menayangkan suatu berita, dengan berbagai format informasi yang disampaikan kepada publik secara beragam dan variatif. Mulai dari berita hiburan sampai politik sajian informasi yang disampaikannya begitu menarik dan membuat masyarakat semakin penasaran dengan peristiwa beritanya, tidak mengherankan apabila informasi selebriti dan politik begitu banyak ditonton karena penyajiannya yang dramatis seperti tayangan sinetron yang penuh misteri di setiap akhir episodenya dan terus bersambung.

Episode Pemberitaan yang Bersambung

Kasus pembunuhan Nazarudin Zulkarnaen yang ketika itu berposisi sebagai direktur RNC (Rajawali Nusantara Indonesia) merupakan berita yang menghebohkan Indonesia bukan karena kejadiannya yang mirip film laga mafia melainkan alur peristiwanya yang cukup dramatis. Mantan ketua KPK Antasari Ashar adalah orang yang tersandung kasus pembunuhan tersebut yang terjadi pada tahun 2007. Peristiwa ini menjadi sorotan media begitu luas karena melibatkan pejabat negara yang dituduh melakukan perencanaan pembunuhan denngan membayar pembunuh bayaran untuk menembak direktur BUMN tersebut. Kejadian ini semakin menarik perhatian publik karena ternyata kasus ini terjadi salah satunya disebabkan karena cinta segitiga dengan wanita bernama Rani yang berprofesi sebagai caddy golf dan dari sinilah media kemudian memberitakan permasalahan ini dengan lebih mendalam serta direpresentasikan sebagai kasus yang dramatis dan kejadian ini seperti menjadi episode pembuka dari berbagai kasus skandal perpolitikan di Indonesia yang ditayangkan oleh televisi secara berseri dengan perkembangan-perkembangannya yang penuh sensasi. Pasca kasus pembunuhan Nazarudin Zulkarnaen tersebut tayangan berita di televisi semakin terbuka menginformasikan berbagai kasus skandal elit dengan bumbu narasi yang dramatik, publik kemudian dipertontonkan serial drama skandal pejabat negara. Skandal demi skandal silih berganti menghiasi lacar kaca mulai dari kasus Anggodo yang rekaman penyuapannya dengan seorang jaksa dan pengacaranya dipertontonkan secara langsung kepada publik secara langsung di televisi dari Mahkamah Konstitusi, ini berlanjut pada kasus jenderal Polisi Susno Duadji yang berseteru dengan KPK kemudian menjadi ramai diperbincangkan publik karena kata-katanya tentang cicak buaya menjadi popular dalam pemberitaan media. Publik merespon pernyataan itu dengan ramai-ramai mendukung KPK yang saat itu dipimpin oleh Bibit & Chandra dengan menggelar dukungan melalui media sosial dan aksi massa, kasus perskandalan elit ini terus berlanjut hingga hari ini. Mulai dari pegawai pajak Gayus Tambunan yang buron ke Singapura dan kepergok media menonton tenis dengan rambut palsunya sampai kepada mantan bendahara partai Demokrat Nazaruddin yang buronnya ke luar negeri terhenti di Kolombia dengan episode pelariannya yang cukup panjang dan penuh dramatis. Episode demi episode skandal politik terus menerus dipertontonkan kepada publik dengan menghasilkan wacana yang diharapkan dapat menggugah kesadaran masyarakat dalam bernegara. Dalam hal ini penulis mengapresiasi kerja para insan pers yang melaporkan suatu berita penuh dengan dedikasi yang tinggi dan seusai koridor jurnalistik yang tepat sehingga keterbukaan informasi kepada publik semakin jelas.

Korupsi sebagai sebuah problema atau komoditas elit?

Pemberitaan skandal korupsi yang melibatkan elit negara ini telah menjadi wacana publik dan mereka memandang bahwa para penyelenggara negara sudah tidak menjalankan amanah rakyat. Sepertinya para elit itu beserta aparatus negaranya saling berkolaborasi untuk saling mencari untung demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Publik dibuat geram atas tingkah laku elit tersebut mereka mengutuk prilaku tersebut karena dalam benaknya korupsi merupakan salah satu masalah yang membuat bangsa Indonesia tidak mengalami kemajuan baik secara ekonomi maupun politik. Harapan masyarakat atas isu korupsi ini begitu tinggi mereka mendukung segala bentuk peraturan atau lembaga yang mengurusi permasalahan tersebut, maka tidak mengherankan pasca orde baru ini ada banyak peraturan serta lembaga yang secara khusus menangani korupsi ini. Namun permasalahan ini tidak kunjung terselesaikan bahkan semakin terpolarisasi kepada kasus-kasus besar seperti yang ditayangkan media massa. Masyarakat kemudian sampai kepada titik kejenuhan bukan karena tidak terungkapnya kasus-kasus itu secara tuntas serta dalam media pemberitaannya yang semakin tidak berujung.

Kasus-kasus korupsi yang dimunculkan media beberapa waktu ini dalam pandangan beberapa pihak tidak menyelesaikan akar permasalahan korupsi itu sendiri. Berita-berita mengenai kasus tersebut sudah mengarah kepada komoditi sekelompok elit yang menggunakan isu ini sebagai alat mereka menyerang kubu atau institusi tertentu, kecenderungan tersebut menyebabkan masyarakat semakin apatis dengan permasalahan negara. Pemberitaan korupsi dalam media massa mungkin bertujuan untuk memberikan wacana kepada publik bahwa permasalahan ini sudah mengakar di segala lini kehidupan politik namun bagi penulis konten dari pemberitaannya tidak menyentuh dengan keadaan masyarakat. Hal ini karena pemberitaannya cenderung kepada saling serang anta elit politik yang terlibat maupun tertuduh dalam kasus korupsi. Media tentu tidak bersalah dengan pemberitaan tersebut karena melaporkannya sesuai dengan fakta dan data yang didapat dari lapangan melalui para jurnalisnya yang bekerja keras mencari narasumber berita. Namun para elit memanfaatkan kasus-kasus tersebut untuk mencitrakan dirinya baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya sehingga pemberitaan yang didapat terkadang semakin membingungkan dan mungkin ini juga yang dialami oleh para jurnalis.

Berdasarkan itulah kita semua mungkin berpikir sampai di mana permasalahan korupsi ini dapat terselesaikan karena kasusnya yang terekspos media terlihat seperti hanya konflik antar elit yang saling serang karena ingin saling membuka aib keburukan prilaku mereka yang memang sudah buruk di mata masyarakat. Tetapi ada hal lain yang lebih dari permasalahan elit itu yakni adanya pelanggengan kehidupan elit politik yang terrepresentasikan melalui pemberitaan media massa. Secara tidak langsung berita korupsi yang berkutat hanya disekitaran pembunuhan karakter seseorang ini telah melestarikan status elit itu sendiri, di mana kita sebagai masyarakat hanya disajikan pertikaian yang secara nyata tidak dirasakan oleh masyarakat yang sudah semakin sulit dalam bertahan hidup. Kasus-kasus yang dipublikasikan dan melibatkan para koruptor ini juga kalau dirunut lebih jauh tidak menyentuh dengan rakyat, seperti kasus bank century misalnya. Memang benar negara merasa dirugikan sekian triliun tetapi yang memiliki dampaknya langsung hanya kepada para nasabahnya bukan masyarakat secara umum. Meski demikian publik juga berharap kasus ini dapat menyentuh orang besar di republik ini yang selama ini mungkin tidak pernah tersentuh oleh hukum, mungkin pesan ini yang ingin disampaikan dari kasus bank Century tersebut.

Habitus Elit dalam Pemberitaan Televisi

Publik telah dibuat bingung dengan pemberitaan televisi yang terkesan tidak mendalami suatu kasus  hingga tuntas. Sehingga publik memiliki persepsi bahwa beberapa kasus yang diberitakan tidak akan tuntas terselesaikan, problema ini kemudian menyebabkan pesimisme publik ketika melihat suatu permasalahan politik. Pada akhirnya menganggap bahwa berita televisi hanyalah tontontan informasi yang menghibur dan bahan tertawaan mereka melihat kehidupan elit negara yang tidak pernah berubah. Maka publik kemudian menyalurkannya dengan menonton program televisi yang bersifat menghibur meski dengan bumbu kekerasan fisik, candaan rasialis, atau tema-tema seks. Berita yang dikonsumsinya bertema kriminalitas dan kekerasan yang seakan-akan dekat dengan kehidupannya yang memang sudah keras, situasi demikianlah yang bagi Pierre Bourdieu melestarikan Habitus dari kelompok sosial masyarakat. Habitus sendiri dalam konsep pemikirannya dapat disimpulkan sebagai sebuah sistem persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama, kemudian melalui Agen-agen individualnya mengembangkan sistem ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya.
Baginya pemetaan kelas sosial dalam masyarakat dapat terindentifikasi dengan pola atau gaya hidup yang dilakukannya. Menurutnya semakin tinggi kelas seseorang maka seleranya akan semakin elitis atau mencari sesuatu yang sulit dilakukan oleh kalangan umum, baginya kelas sosial tidak hanya berdasarkan ekonomi politik semata melainkan melalui praktek-praktek sosial yang meliputi selera dan beragam pilihan sosial sehari-hari (Bourdieu, 1984:103). Pembedaan tersebut dapat diketahui melalui kesukaan atau hobi yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu, misalnya kelas bawah lebih menyukai program televisi yang menghibur sedangkan kelas atas lebih menyukai acara televisi yang berkesenian tinggi dan ilmiah.  Melihat perbedaan selera tersebut maka kita bisa membaca bahwa berita yang disajikan televisi di Indonesia cenderung untuk melestarikan status sosial para elit politik dan semakin menjauhkan persoalan kebangsaan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Publik secara umum telah menjadi komoditas dari berita itu sendiri di mana perannya hanya menjadi penerima pasif dari suatu peristiwa kalaupun dilibatkan secara imteraktif hanya menjadi bumbu dari program tersebut. Kasus-kasus besar yang terekspos oleh media televisi khususnya yang melibatkan elit politik cenderung mengesampingkan pendapat publik dan lebih mengutamakan pendapat para elit itu dengan analisa dari para pakar yang tentunya sudah berpendidikan. Dengan demikian status elit masih terus dilestarikan artinya mereka masih menjauh dari harapan politik sejatinya yakni mengutamakan kepentingan masyarakat dibandingkan pribadi. Bukan bermaksud untuk menjustifikasi para politisi di negeri ini namun apa yang ditampilkan televisi selama ini mengesankan bahwa permasalahan politik hanyalah milik para ahli atau pelakunya saja. Publik hanya disajikan sebuah tontonan yang dramatis tanpa mengetahui lebih mendalam apakah kasus-kasus yang dibahas dalam televisi tersebut berhubungan secara lansung dengan kehidupan sehari-hari. Bagi para elit sebuah kasus yang diberitakan dapat menjadi ajang perkenalan dirinya kepada publik bahwa dirinya telah pantas mejadi pahlawan masyarakat.


Menyikapi Globalisasi



Globalisasi menjadi kalimat yang mampu menghipnotis semua orang di seluruh dunia, setiap manusia ketika mendengar kata itu sudah memiliki beragam pendapat yang ujungnya melahirkan berbagai wacana utopis mengenai menyatunya dunia. Bagi sebagian orang Globalisasi seperti alat pemersatu dunia yang selama ini terpisah baik secara geografis maupun berbagai aturan, namun sebagian menganggap bahwa sistem ini dapat mengancam tatanan kehidupan masyarakat karena khawatir akan hilangnya nilai-nilai suatu identitas. Kedua perbedaan pendapat ini sejak lama menjadi bahan perbincangan di berbagai forum diskusi dan melahirkan wacana publik yang dinamis.

Di Indonesia, kata Globalisasi telah menjadi buah bibir oleh berbagai kalangan, jargonnya menimbulkan berbagai pandangan dan perdebatan publik.  Beberapa kalangan di republik ini mulai dari masyarakat umum hingga kalangan akademisi dan politisi akan memiliki beragam interpretasi ketika membicarakan sistem ini. Penulis memandang perbedaan pendapat mengenai Globalisasi di Indonesia terbagi atas dua kelompok yakni kelompok optimis dan pesimis, kedua kelompok ini hingga sekarang masih terus berdebat dalam menyikapi sistem yang suka ataupun tidak secara alamiah akan mengalir masuk ke Indonesia meskipun tanpa regulasi ketat di beberapa tahun mendatang.

Globalisasi dan Perdebatannya di Indonesia

Secara umum Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah tatanan sistem global yang saling berjaringan dan berhubungan berkat dukungan teknologi informasi, perdagangan, budaya, politik dan ekonomi. Menurut Roland Robetson seorang Sosiolog Globalis, menyatakan bahwa Globalisasi dapat dimaknai sebagai “sebuah konsep yang mengacu kepada tindakan yang mendunia dan secara intens memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa dunia ini saling ketergantungan” (Robetson,1992:8). Tatanan ketergantungan ini akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat maupun negara, di mana secara umum perubahan akan sangat dirasa dalam berbagai ranah institusi. Masyarakat Indonesia secara umum tentunya harus siap menghadapi sistem ini karena dari kacamata ekonomi sudah terikat melalui perjanjian internasional. Dengan semakin gencarnya perjanjian-perjanjian ekonomi internasional itu tentunya akan menimbulkan perdebatan yang cukup dinamis diantara masyarakat dengan berbagai sudut pandang yang telah penulis kelompokkan diatas.

Kelompok Optimis, memandang Globalisasi ini dari sudut pandang Ekonomi. Dimana secara sistematis harus diikuti karena dengan begini bangsa Indonesia akan dapat keuntungan dari berbagai perjanjian perdagangan dunia. Beberapa kalangan yang optimis ini berpandangan kompetisi global merupakan kesempatan bagi negara untuk terus memacu tingkat pertumbuhan ekonominya agar posisi bangsa dapat sejajar dengan negara maju. Pandangan ini kemudian tertanam di kalangan birokrat pemerintahan untuk mengikuti ritme dari perjanjian internasional itu dengan mengakomodir kepentingan investor luar negeri yang menjanjikan dan menguntungkan. Kelompok optimis melihat bahwa bergabungnya Indonesia di berbagai forum dan kelompok ekonomi internasional merupakan sebuah prestasi serta kesempatan guna mewujudkan kemajuan ekonomi bangsa. Bagi masyarakat umum yang optimis terhadap Globalisasi, berpandangan bahwa ini adalah momentum untuk dapat merasakan ikon, label, ataupun budaya global khususnya barat yang secara deras memasuki pangsa pasar Indonesia. Maka tidak mengherankan berbagai fasilitas pendukung situasi tersebut marak khususnya di perkotaan seperti Mall dengan konsep dunia & modern, waralaba internasional, perangkat teknologi versi terbaru, hingga pendidikan bertaraf internasional mulai dari Taman kanak-kanak sampai universitas. Semua fasilitas itu adalah untuk menunjang Indonesia menjadi sejajar dengan suasana dunia yang dikonstruksikan modern, maju, serta praktis.

Kelompok pesimis, adalah kelompok yang memandang bahwa globalisasi merupakan ancaman bagi kedaulatan negara, menghancurkan moralitas bangsa, dan menghilangkan identitas lokal. Mereka menganggap bahwa Globalisasi merupakan monopoli dari negara adidaya serta merusak sistem tata negara yang telah diperjuangkan oleh para pemikir bangsa dan para pejuang kemerdekaan. Kelompok ini memandang bahwa identitas nasional dan lokal akan tergerus oleh kebudayaan barat yang secara perlahan merusak nilai-nilai kebangsaan apabila paham Globalisasi dibiarkan mengalir deras masuk kedalam tatanan masyarakat. Kelompok ini membahasakan Globalisasi dengan kaca mata teori konspirasi dan terkadang Chauvinistik, menguatkan tradisi feodal, serta mengkultuskan kejayaan raja-raja nusantara adalah argumen yang selalu dikuatkan oleh mereka sehingga kita terjebak dengan perdebatan yang tak kunjung selesai. Kelompok pesimis melihat bahwa sumber daya manusia di Indonesia tidaklah mendukung akan hadirnya Globalisasi karena kalah bersaing dengan manusia-manusia dunia dan selalu membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura yang sumberdayanya sudah lebih maju. Meski secara umum pandangan mereka terhadap sistem ini dan negara barat sangat pesimistis namun ketika melihat negara timur kelompok ini masih bertoleransi, banyak yang berkiblat kepada negara Cina dan India untuk melihat bagaimana negara berhasil mengalahkan dominasi barat. Esensi dari Globalisasi kemudian menjadi pertentangan antara barat dan timur ataupun.

Menyikapi Globalisasi 

Sebagai sebuah sistem yang berlaku dan berjalan tanpa batas teritori negara yang implementasinya dapat berupa ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain sebagainya Globalisasi telah menjadi fenomena abad ini yang memiliki berbagai makna interpretasi. Bagi penulis, perdebatan mengenai Globalisasi harus berdasar dengan tidak menjadikan sebuah disiplin ilmu sebagai sesuatu yang ajeg, karena sistem ini berjalan secara dinamis dan mengalir di berbagai bidang. Dengan konsep itu kita harus menyikapinya dengan cerdas dan terukur, karena Globalisasi hanyalah sebuah simbol dari ketergantungan antar negara dan masyarakat yang mencari titik penyatuan melalui berbagai pemikiran, ideologi, dan kepentingan. Sistem ini harus disikapi juga dengan tidak melupakan identitas kita sebagai manusia yang humanis dan berpandangan terbuka, karena kebanyakan dari kita terkadang salah dalam menyikapi ini dan terjebak oleh narasi-narasi besar yang menyempitkan pandangan kita. Namun juga harus berhati-hati karena ketergantungan antar bangsa dan masyarakat yang dikemas dalam ide Globalisasi ini dapat saja saling merugikan.


Tulisan ini dimuat dalam harian Suara Karya edisi 30 Mei 2013


Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...