Tulisan
Airlangga Pribadi tanggal 2 Juni 2012 berjudul “Jakarta Sebagai
Episentrum Perubahan” menarik untuk ditanggapi. Pandangan beliau
mengenai kota Jakarta yang butuh pemimpin yang dapat membawa
perubahan di era globalisasi patut dijadikan bahan refleksi bersama.
Kehidupan kota Jakarta yang sedang mengikuti irama kota-kota besar
dunia seperti New York, Hongkong, Singapura terkadang mengorbankan
kelompok yang lemah dalam praktek pembangunannya. Dalam paparannya
Airlangga Pribadi menggambarkan bagaimana Jakarta yang sekarang
berada di pusaran globalisasi membutuhkan sosok pemimpin yang peduli
dengan rakyatnya bukan hanya memikirkan kemajuan sebuah kota besar,
beliau kemudian menyebut nama Jokowi sebagai orang yang dianggap pro
dengan rakyat dan bisa menjadi pemimpin alternatif untuk Jakarta
karena keberhasilannya memodernisasi pedagang pasar tradisional di
Solo, Jawa Tengah. Penulis bermaksud untuk memberikan beberapan
tambahan dan mengkritisi pandangan beliau yang bagi penulis perlu ada
beberapa penjelasan khususnya mengenai konsep globalisasi berkeadilan
yang menjadi rujukan dari tulisan tersebut.
Terintegrasinya
dunia dalam satu tatanan sistem globalisasi adalah hal yang fenomena
pada awal abad 21 ini para politisi, ekonom, akademisi, masyarakat
perkotaan, anak sekolah dan hampir seluruh masyarakat mempunyai
argumentasi tersendiri dalam membicarakan kata globalisasi tersebut.
Paham ini membutuhkan penopang di suatu negara agar nilai-nilai dari
globalisasi tersebut diterima oleh masyarakat luas dan perkotaan
merupakan salah satu penopangnya. Kota menjadi ruang bagi pasar bebas
untuk mengimplementasikan aturan beserta nilai-nilai yang
dikandungnya, maka tidak mengherankan apabila ruang-ruang imajiner
dibangun dalam suatu kota besar. Berdirinya mall, galeri, kafe dengan
brand luar negeri, dan restoran cepat saji begitu pesat dibangun
dengan suasana urban seperti di kota-kota besar negara barat sehingga
masyarsakat perkotaan memiliki persepsi bahwa gaya hidupnya sudah
sesuai dengan global. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
Jakarta telah dipersiapkan sebagai kota yang mengikuti arena tersebut
sehingga tidak jarang orang banyak mengatakan bahwa ibu kota negara
ini menjadi sarang konsumerisme karena seluruh gaya hidup yang
terkesan global tersebut tersedia dalam berbagai bentuk. Masyarakat
perkotaan kemudian menyimbolkan suasana global tersebut dengan brand
atau merk yang terpampang mulai dari fashion hingga kuliner.
Dalam
hal berdemokrasi masyarakat perkotaan lebih banyak mempelajarinya
melalui ruang perdidikan, representasi media elektronik baik berupa
talk show televisi, diskusi radio dan lain sebagainya. Demikian juga
yang terjadi dalam ruang demokrasi jalanan Jakarta di mana semua
aliran politik hingga agama mempertunjukkan aksinya untuk
memperjuangkan haknya dengan bentuk yang beraneka macam. Ruang publik
kota mempersilahkan aksi-aksi tersebut dengan dalil demokrasi karena
selera pasarlah yang menentukan aksi tersebut bermanfaat atau tidak,
hal ini menyebabkan isu-isu yang dibawa demonstran terkadang menjadi
bahan komoditas politisi.
Ruang
publik yang ada dalam kota Jakarta pun lebih di dominasi oleh media
luar ruang seperti baliho, papan reklame, hingga mural-mural yang
merepresentasikan modernitas masyarakat perkotaan sehingga identitas
bersama yang dirasakan oleh warga Jakarta adalah berbentuk hal-hal
yang telah termaterialkan dan berhasil tergambarkan oleh media
sehingga kembali lagi mata masyarakat menjadi komoditas suatu produk.
Dengan ruang yang sarat dengan situasi pasar tersebut muncul juga
benih-benih kemarahan masyarakat yang hal ini tercermin dari
kefrustasian masyarakat perkotaan menghadapi permasalahan seperti
mudah marah ketika bersenggolan kendaraan bahkan perkelahian pelajar
yang tak kunjung berhenti dari masa ke masa. Inilah potret kota
Jakarta yang dikonstruksikan oleh para pemimpinya sebagai wilayah
modern yang ingin disejajarkan dengan kota-kota besar di seluruh
dunia, sehingga urbanisasi menjadi harapan bagi banyak orang di
pedesaan karena kota menawarkan hal impian yang begitu luas. Impian
tersebut ternyata hanyalah sekedar pemanis saja karena penguasa akses
ekonomi di perkotaan masih dikuasai oleh para pemilik modal atau
hanya orang-orang kaya saja sedangkan masyarakatnya diberikan terus
impian akan nikmatnya hidup di perkotaan. David Harvey dalam buku
terbarunya berjudul Rebel Cities (2012) menyatakan bahwa
kualitas kehidupan perkotaan telah menjadi komoditas bagi mereka
dengan uangnya, karena rasa memiliki perkotaan itu di mana
konsumerisme, pariwisata, budaya, dan pengetahuan industri menjadi
tontonan ekonomi dan telah menjadi aspek utama ekonomi politik.
Dari
gambaran ini sangat sulit mencari sosok pemimpin Jakarta yang
memikirkan benar kebutuhan dasar masyarakatnya karena akan berhadapan
dengan kepentingan modal yang begitu besar. Sosok Joko Widodo yang
menurut Airlangga Pribadi mampu mengatasi serangan globalisasi
tersebut karena sudah teruji di kota Solo itu masih perlu
diperdebatkan. Bagi penulis sosok Jokowi tidaklah mampu untuk
mengurusi permasalahan kota Jakarta. Karena kota ini sarat dengan
banyak kepentingan ekonomi politik sehingga bisa saja sosok pemimpin
yang bersih dan idealis akan terbawa arus kepentingan atau malah
terus diganggu oleh beragam persoalan. Momentum pilkada DKI kali ini
hanya menjadi ajang perebutan modal untuk menguasai wilayah ibu kota,
karena dengan APBDnya terbesar di Indonesia yakni mencapai 36 triliun
rupiah maka perlu pengelolaan keuangan yang transparan agar tidak
terjadi korupsi baik yang dilakukan oleh individu maupun partai
politik pendukungnya. Yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah
kenyamanan bagi warganya yang beraktivitas baik di dalam rumah maupun
di luar rumah, karena masyarakat merasa terancam oleh berbagai
permasalahan kota seperti kemacetan, kriminalitas, demonstrasi,
konflik sosial, standar kehidupan dan lain sebagainya. Pilkada DKI
harus melahirkan pemimpin yang dapat menyadarkan masyarakatnya
semangat kebersamaan dan menghapus ilusi konsumerisme yang melanda
warga Jakarta. Semoga ini dapat menjadi bahan catatan kita semua.