Survey politik dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar guna
mengetahui elektabilitas calon pemimpin maupun partai politik.
Melalui survey maka para penggiat politik akan lebih bekerja keras
membangun basis organisasi dan merancang strategi jitu untuk
memenangkan pemilihan umum. Di berbagai belahan dunia survey menjadi
rujukan bagi semua kompetitor politik untuk mengetahui peta
kekuatannya dan kemudian dijalankan menjadi agenda kampanye. Survey
dilakukan oleh lembaga kredibel dan memiliki reputasi yang
berpengalaman dalam komunitas politik, tidak sedikit dari
lembaga-lembaga ini memiliki koneksi dengan para pemimpin politik
sehingga perannya dapat menjadi konsultan.
Di Indonesia, hiruk pikuk pemilihan umum nasional masih dua tahun
lagi, namun sudah diramaikan oleh berbagai hasil survey yang telah
menggambarkan beberapa tokoh untuk menjadi pemimpin pada 2014 yang
akan datang. Partai politik yang diperkirakan unggul pun sudah bisa
digambarkan melalui survey ini bahkan belakangan hasilnya banyak
menjadi rujukan bagi partai politik untuk bekerja keras mengambil
hati dan simpati masyarakat. Para lembaga survey tersebut biasanya
menggunakan pers sebagai institusi yang dianggap dapat menyebarkan
hasil kajiannya kepada khalayak umum sehingga persepsi atas seseorang
tokoh atau organisasi politik bisa lebih mengena. Saluran media
merupakan hal yang paling tepat untuk sosialisasi hasil polling dari
berbagai lembaga yang kredibel dibidangnya tersebut. Selanjutnya
dapat ditebak sendiri bahwa media massa (khususnya televisi) kemudian
memberitakan dengan berbagai kepentingannya.
Hasil dari survey politik ini menjadi perbincangan dan wacana dalam
media televisi dalam beberapa bulan ini, seperti yang terjadi
baru-baru ini ketika beberapa lembaga survey mengeluarkan hasil
kajiannya terhadap calon presiden RI 2014 mendatang. Beberapa nama
tokoh baik masa lalu maupun sekarang masuk dalam bursa capres dengan
elektabilitas pemilih yang bervariasi dan menariknya salah satu tokoh
yang mempunyai hasil survey tertinggi memiliki catatan masa lalu yang
kelam yakni penculikan aktivis dan pembungkaman demokrasi. Masyarakat
seakan dipersepsikan sudah melupakan tragedi kelam tersebut namun
berkat konstruksi media maka perbincangan dosa masa lalu telah
terpinggirkan oleh kontestasi antar lembaga survey yang saling
bersahutan mempublikasikan hasil kajiannya. Hasil survey ini kemudian
menjadi komoditas informasi bagi industri media televisi dengan
beragam kepentingan ekonomi politiknya, survey tersebut menjadi alat
kekuatan para pemilik media yang memiliki akses dan jaringan luas
terhadap berbagai kalangan. Hasil survey politik direpresentasikan
oleh media televisi melalui bermacam program baik berita, talkshow,
ataupun parodi politik. Sebagai ruang wacana bagi masyarakat mungkin
sah saja media massa menggambarkan hasil survey politiknya untuk
rujukan pemilih, namun yang menjadi permasalahan ketika menjadikan
hasil survey tersebut sebagai alat konstruksi berpikir kepada
masyarakat agar terfokus kepada salah satu calon ataupun partai
politik tertentu. Peran media yang seharusnya dapat mencerahkan
berubah menjadi tunduk kepada kepentingan politik tertentu, secara
umum mungkin tidak terlihat bagaimana media tersebut mendukung tetapi
hal ini terlihat dari representasi kontennya yang disampaikan kepada
khalayak.
Konsep representasi dalam media tidak sekedar
mereproduksi atau menampilkan kembali sesuatu fakta kepada khalayak,
tetapi melalui beragam konsepnya representasi menghadirkan makna
tertentu kepada kita. Konsep representasi Stuart Hall dengan
pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna dibuat oleh
pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki (Hall,
1997:25). Makna tersebut digunakan untuk merepresentasikan konsep
tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat dapat
menentukan maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem
representasi yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika seorang
presenter televisi mempertanyakan hasil survey terhadap suatu partai
yang sedang terpuruk dengan beragam pertanyaan yang lebih menyudutkan
partai tersebut. Melalui narasi yang disampaikannya itu maka secara
tidak langsung konstruksi makna telah tercipta dan audiens televisi
dapat memaknainya dengan tersendiri. Berdasarkan konsep inilah maka
survey politik ketika masuk kedalam ruang media televisi sangat rawan
akan manipulasi bahasa sehingga pemirsa dibawa kedalam permainan
kuasa bahasa yang muaranya mengarah kepada kekuatan tertentu.
Tentunya tidak seluruh media merepresentasikan hal demikian namun
melihat peta industri televisi yang saat ini dikuasai oleh para
politisi maka akan rawan manipulasi. Meski demikian masih ada
beberapa media massa yang menjadikan survey politik hanya untuk
wacana di masyarakat tanpa memiliki kepentingan pribadi politiknya.
Lembaga survey politik sendiri bagian yang cukup penting dalam
menentukan peta politik nasional namun mungkin lebih dituntut untuk
lebih independen dan bebas dari kekuatan politik sehingga hasilnya
benar-benar untuk pencerahan masyarakat. Masalahnya banyak lembaga
survey yang saat ini menjadi konsultan politik dan membutuhkan media
agar lebih mengena strategi kampanyenya sehingga lembaga tersebut
akhirnya hanya sebagai sebuah event organizer yang menjadi salonnya
para calon pemimpin maupun mencitrakan suatu partai politik.
Kolaborasi antara konsultan politik dan media inilah yang kini marak
dalam ruang politik Indonesia saat ini, seperti rahasia umum
lembaga-lembaga ini lahir dari situasi pasar yang memungkinkan di
negeri ini. Di mana para politisi memanfaatkan lembaga konsultan dan
riset politik sebagai alat ukur mereka memenangkan percaturan politik
dan menggarap media massa untuk mempromosikan isu-isu yang dibawanya.
Sehingga secara tersirat media massa tergiring isunya oleh kolaborasi
antara konsultan dan calon tersebut, membuat narasi yang
direpresentasikannya cenderung tidak objektif serta memanipulasi
kebenaran.
Berkembangnya industri konsultan dan riset di Indonesia hendaknya
dibarengi dengan penyadaran politik kepada masyarakat agar
partisipasi politik dalam bernegara lebih meningkat. Sementara media
sebaiknya berperan aktif dalam membahas maupun mengkritisi hasil
survei tersebut agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang
serta dapat memilihnya dengan rasionalitasnya. Apabila survey politik
tetap berperan sebagai konsultan yang tidak konstrukstif dengan
representasi media yang juga tidak kapabel maka lahirlah sosok orang
pemimpin yang tidak terduga seperti yang terjadi pada pilkada DKI
saat ini. Semoga para konsultan dan pembuat survey politik menyadari
hal ini.