Oleh Meistra Budiasa
Kemenangan
Jokowi pada pilkada DKI putaran pertama menyentakkan banyak pihak.
dengan hasil suara yang diperoleh mencapai 45 % (hasil resmi KPU)
membuat para analis, politisi, media massa, masyarakat membahasnya
dengan beragam interpretasi. Kemenangan tersebut menjadi menarik
dibicarakan bukan tanpa alasan karena sosok Jokowi sebagai walikota
Solo yang berhasil menciptakan kejutan dalam kepemimpinannya.
Masyarakat mulai mengenal beliau ketika dirinya berhasil menciptakan
proyek mobil nasional yang bernama Esemka sebagai cita-cita membangun
industri otomotif nasional. Gebrakan tersebut seperti memukul
kepemimpinan nasional yang terkesan tidak mempunyai visi dan misi
dalam membangun industri nasional terutama pemerintahan pusat yang
dalam hal ini berada di pusat ibu kota negara Jakarta. Langkah yang
dilakukan oleh Jokowi tersebut seperti mewacanakan bahwa para
pemimpin di pusat terutama di Jakarta hanya sibuk berwacana politik
dan hanya memikirkan kepentingan pribadinya saja tanpa memiliki
tindakan nyata dalam membangkitkan perekonomian nasional dengan
menciptakan karya sendiri. Sosok Jokowi sebagai ikon perubahan dan
jati diri bangsa semakin menguat ketika beliau mengendarai sendiri
mobil Esemka tersebut dari Solo ke Jakarta untuk mendapatkan ijin
dari pemerintah agar dapat menjadi salah satu proyek mobil nasional.
Gambaran tersebut mendapat simpati banyak pihak terutama masyarakat
yang sudah bosan dengan kondisi sosial politik yang tak kunjung
berubah sehingga mereka mengharapkan sosok orang yang dapat berbuat
nyata untuk bangsa.
Bagi
sebagian besar masyarakat perkotaan yang penuh dengan berbagai
rutinitas pekerjaan serta kehidupannya yang monoton memaknai
perubahan sangatlah berarti, karena mereka menginginkan suatu
kepastian jalannya roda pemerintahan sehingga tindakan nyata lebih
dilihat daripada sekedar wacana. Pandangan ini mungkin dimiliki oleh
berbagai kelompok sosial di wilayah perkotaan terutama kelas menengah
yang pertumbuhannya selalu meningkat setiap tahunnya. Kelas menengah
khususnya di wilayah perkotaan membutuhkan sarana dan prasana yang
menunjang rutinitasnya seperti pelayanan publik yang memuaskan mereka
sehingga tidak menghalangi kegiatan sehari-harinya sebagai contoh
kemacetan, transportasi umum yang tidak memadai, serta kepengurusan
adminitrasi publik yang mudah. Maka melalui pemilihan umum dan
pemilihan kepala daerahlah kelas menengah ini menyuarakan ekspresinya
sebagai bagian dari eksistensinya dalam dunia politik. Meskipun
politik bagi kelas menengah terkadang hanya bagian dari seremonial
berdemokrasi namun yang menariknya kelompok tersebut memiliki
pengaruh yang cukup signifikan dalam suara politik baik dalam
pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah seperti yang terjadi
pada pilkada DKI putaran pertama beberapa waktu lalu di mana pemilih
Jokowi kebanyakan berasal dari kelas menengah. Meski tidak begitu
fenomenal tetapi kelas menengah dari masa ke masa selalu menarik
untuk diperbincangkan khususnya dalam memandang ideologi apa yang
mereka miliki dalam menentukan suaranya.
Kelas
Menengah di Indonesia dari Orde Baru hingga Reformasi
Kelas menengah di Indonesia mulai terdefinisikan ketika Orde Baru di
bawah pemerintahan Soeharto memberikan banyak fasilitas dan tempat
kepada mereka hal ini untuk menopang jalannya roda pembangunan
negara. Kelompok menengah ini terdiri dari para eksekutif muda yang
bekerja di pusat kota atau para lulusan sarjana yang memiliki gaya
hidup metropolitan (Robinson, 1986). Pada era Orde Lama kelompok ini
mungkin tidak banyak dibicarakan karena pada masa itu penuh dengan
gejolak ideologi politik sedangkan pada era Soeharto mereka diberikan
kemudahan posisi seperti menjadi tim penasihat pada pemerintahannya
maupun dukungan fasilitas yang menunjang bagi kelompok ini seperti
pembangunan kota lengkap dengan sarana prasarana yang bercirikan
metropolitan dan global. Ruang gerak yang diberikan Orde Baru
tersebut juga berupa pemberian lapangan kerja yang luas kepada para
lulusan sarjana muda agar pertumbuhan perkotaan lebih dikedepankan
dan dapat menjadi barometer bagi daerah di Indonesia. Konsep
pembangunan yang sentralistis di kota besar inilah yang menyuburkan
tumbuhnya kelas menengah perkotaan apalagi saat itu Indonesia
mendapat keuntungan dari naiknya harga minyak dunia yang terkenal
dengan periode boom oil pada tahun 1978. Salah satu ciri dari kelas
menengah perkotaan yaitu sering kumpul di kafe-kafe bermerk
internasional, sering pergi ke mall, maupun ruang publik yang
terkesan ekslusif di kawasan perkotaan, mereka lebih mengutamakan
gaya hidup yang cenderung terkesan masyarakat perkotaan. Namun pada
tahun 1998 kelompok menengah ini menjadi salah satu penopang bagi
perubahan di Indonesia ketika mereka secara serentak menolak
kepemimpinan Soeharto karena pemerintahannya yang tidak demokratis
serta lebih mengedepankan kroni dan keluarganya dalam memanfaatkan
fasilitas negara.
Pasca
Orde Baru atau era reformasi dan demokrasi saat ini, kelas menengah
kembali menjadi sorotan dari komunitas politik dan media. Kelas
menengah pada masa saat ini kembali memiliki peran yang cukup
signifikan dalam kehidupan sosial politik Indonesia yang bagi
sebagian orang masih dikatakan sebagai era transisi.
Bank
Dunia bahkan memperkirakan jumlah kelompok menengah ini sekitar 135
juta jiwa dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan didorong oleh sistem ekonomi neoliberal di mana kelompok
menengah menjadi sasaran konsumsi dari paham tersebut sehingga
kondisi pasar tetap terjaga.
Jumlah kelas
menengah sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini dalam segi ekonomi
mengalami banyak peningkatan bahkan cenderung terus tumbuh namun
secara politik kelompok ini cenderung tidak dapat dikendalikan secara
penuh oleh partai politik mereka lebih bersifat konservatif dalam
menghadapi persoalan bangsa. Dalam survey litbang Kompas mengenai
kelas menengah 2012 menemukan bahwa kelas menengah di Indonesia
mencapai 50.3 persen dan ini dicirikan dengan rata-rata pendidikannya
setingkat SMA, dengan penghasilan Rp. 1,9 Juta per bulan serta
pengeluaran Rp. 750 ribu – Rp. 1,9 Juta per bulan (Kompas, 2012).
Yang lebih mengejutkan secara politik mereka cenderung apatis dan
belum mau bergerak mengorganisasikan diri untuk perubahan. Kelompok
menengah masih menikmati indahnya gaya hidup perkotaan dan identitas
global seperti mengkonsumsi barang, kuliner, gaya hidup maupun jenis
pekerjaan yang menyimbolkan bahwa dirinya adalah masyarakat global.
Mungkin ini akibat dari tidak jelasnya arah negara ketika berhadapan
dengan globalisasi yang sudah semakin dekat dengan kehidupan
sehari-hari sehingga kelompok menengah ini tidak begitu menghiraukan
apa yang terjadi pada kondisi sosial politik. Meski demikian mereka
masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan daerah.
Pilihan
politik
kelas menengah
Berkaca dari
putaran pertama pilgub DKI di mana kelas menengah mulai bersuara
dengan memilih Jokowi yang sempat tidak diperhitungkan sebelumnya
maka penulis memandang bahwa kelompok menengah ini secara tersembunyi
sudah memiliki sikap politik. Biarpun mereka digambarkan sebagai
kelompok yang apatis namun mereka masih ingin memiliki eksistensinya
dengan berpartisipasi dalam demokrasi prosedural yakni pemilihan
umum. Mereka ingin mendapat pengakuan sebagai kelompok yang
berpengaruh terhadap perubahan karena peran kelompok ini terasa
diperhitungkan oleh berbagai komunitas politik. Gambaran ini bagi
penulis memperlihatkan bagaimana kelas menengah secara sadar
memposisikan dirinya sebagai kelompok yang ingin diperhitungkan dalam
kehidupan bernegara, ini terbuktikkan ketika mereka sering berkicau
di media sosial tentang permasalahan kehidupan sehari-hari yang dekat
dengannya. Mereka tidak membutuhkan wacana-wacana politik tapi
menginginkan figur pemimpin yang dapat bekerja keras untuk bangsanya
karena bagi kelas menengah negara sudah memiliki sistem yang ajeg
sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Sikap
pragmatis dan praktis inilah yang dimiliki kelas menengah perkotaan,
mereka adalah kelompok yang memandang negara berdasarkan pengalaman
hidup kesehariannya bukan dengan jargon-jargon ide maupun teori. Jadi
ketika anda bisa bekerja dengan jujur, keras, profesional, dan
mengabdi maka akan menjadi pilihan tepat bagi kelas menengah.
Sebaliknya jika para pemimpin hanya sibuk berdebat dengan isu yang
tidak ada ujungnya atau berwacana visi misi politik belum tentu
kelompok ini tertarik dengan hal tersebut. Mereka sudah lelah dengan
berbagai aktivitas yang menyita waktu berpikirnya karena setiap hari
mereka beraktivitas mulai dari bekerja hingga berkonsumsi di hari
libur. Sehingga politik hanya sebagai bagian dari seremonial mereka
dalam kehidupan bernegara yang kebetulan tersalurkan pada pemilihan
umum, daerah, desa, RT, dan RW. Mereka masih cukup rentan dengan
pencitraan iklan-iklan politik karena kebiasaan kelompok ini
berkonsumsi dan memandang citra suatu produk lebih berarti daripada
isinya. Pemilihan putaran kedua gubernur DKI adalah salah satu ujian
kembali bagi kelas menengah apakah mereka masih diperhitungkan
ataukah justru tidak menentukan pilihan, atau mungkin mereka memilih
berdasarkan pencitraan?, sebagai penutup penulis memandang bahwa
mereka mungkin tidak peduli dengan perdebatan isu-isu politik
nasional tetapi mereka peduli ketika ada sosok yang dapat bertindak
nyata. Semoga
dapat menjadi refleksi untuk pemilu 2014...