Tuesday, October 23, 2012

Skandal Perselingkuhan Para Pejabat Negara


Perkembangan dunia politik di Indonesia sangatlah menarik untuk diikuti , tidak hanya dunianya yang begitu dinamis tetapi juga kehidupan para politisinya yang kadang membuat sensasi dalam skandal perselingkuhan. Para pelakunya dari periode ke periode politik selalu ada dan bagi sebagian pelakunya berakhir dengan terbuang dari kancah politik itu sendiri. Skandal perselingkuhan yang dilakukan para pejabat negara kelihatannya sangat lumrah dalam dunia politik, namun apabila mereka terkena skandal tersebut maka secara otomatis dirinya mengalami character assasination(pembunuhan karakter). Pendapatan para pejabat negara yang cukup besar disertai fasilitas yang cukup menunjang kekuasaanya menyebabkan godaan terhadap kehidupan pribadinya semakin menguat, apalagi sorotan media terhadap dirinya sering ditayangkan. Berbagai kejadian perselingkuhan yang melibatkan pejabat negara dengan selebritis maupun lawan jenisnya sudah banyak yang terungkap dalam media massa saat ini, kasus skandal ini semakin terbuka dipertontonkan atau diberitakan kepada publik. Pernyataan para selebritis atau pasangan yang menjadi korban perselingkuhan pejabat ini selalu sering menjadi headline dalam media massa khususnya di program infotainment. Janji-janji kehidupan yang layak, menafkahi anak hasil hubungan gelapnya, rebutan harta warisan, sampai kepada pengakuan siapa yang paling sah mengurusi kematian pejabat itu adalah suatu gambaran nyata yang ditampilkan dalam tayangan televisi ketika menuntut haknya sebagai wanita idaman lain dari pejabat bersangkutan. Publik kemudian menginterpretasikan sendiri berita-berita yang menghebohkan itu dan sambil membayangkan bagaimana kehidupan politik itu yang kelihatan tidak bermoral serta menghalalkan segala cara.

Dalam UU no 43 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 perubahan atas UU no 8 tahun 1974 tentang kepegawaian negara yang termasuk golongan pejabat negara itu adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 45 dan pejabat negara lainnya yang ditentukan undang-undang. Mereka yang termasuk dalam kategori pejabat ini adalah presiden, anggota DPR, menteri, gubernur, bupati, pimpinan lembaga tinggi negara, serta pejabat tingginya lainnya yang diatur dalam undang-undang. Fasilitas negara yang diberikan kepada pejabat tersebut tentu sangat baik dan melebihi apa yang diterima oleh keadaan pekerja biasa baik pns maupun swasta. Karena fasilitas yang begitu menjanjikan tersebutlah maka banyak pihak yang  ingin merasakan atau menjadi bagian dari kekuasaan pejabat itu dan hal ini menggoda para publik figur diluar struktur jabatan negara untuk bisa merasakan bagian nikmatnya gaya hidup tersebut. Dengan cara itulah maka kasus perselingkuhan sering terjadi pada suatu kekuasaan dan lebih banyak korbannya dari kalangan selebritis. Fenomena ini merupakan bagian dari gaya hidup kekuasaan yang penuh dengan sensasi dan kemewahan sehingga telah menjadi rahasia umum bahwa oknum pejabat telah menyalahgunakan jabatannya hanya untuk kenikmatan pribadi.

Gaya Hidup Pejabat dan Skandal Perselingkuhan

Menjadi pejabat negara di Indonesia bagi sebagian masyarakat merupakan suatu anugerah karena berbagai kesempatan dan fasilitasnya yang begitu banyak. Bagaimana tidak selain mendapatkan mobil berkelas mereka juga mendapat rumah beserta tunjangannya yang berlipat ganda, hal tersebut belum ditambah beberapa bonus-bonus yang terlihat maupun tidak. Posisi pejabat negara juga dihormati masyarakat karena pada setiap kesempatan bertemu mereka akan dilayani layaknya seorang abdi dalem kerajaan. Sebagai contoh ketika seorang pejabat negara ingin mengunjungi suatu daerah para aparatus daerah mulai dari tingkat muspida hingga kecamatan sibuk mengurusi kebutuhan para pejabat negara mulai dari penginapan hingga plesirannya. Plesiran yang dilakukannya juga berkelas seperti bermain golf, memesan ruang VIP karaoke, atau sekedar berkongkow di cafe hotel berbintang hingga beberapa hal yang sifatnya pribadi seperti spa dan membutuhkan hiburan wanita. Dengan pelayanan yang begitu berkelas tersebut maka tidak heran banyak pihak yang melirik untuk sekedar dapat merasakan dan menghiburnya ketika para penentu kebijakan itu sedang berada diluar jam keluarganya.
Seorang anggota partai politik besar di Indonesia menyatakan bahwa rumor perselingkuhan anggota partainya yang telah menjadi pejabat negara dengan sesama anggota partai maupun selebriti bukanlah rahasia umum lagi bagi organisasi. Hal itu sudah sering terjadi khususnya selama masa-masa kampanye politik dimana mereka berada di suatu wilayah pemilihan bersama dan di waktu luang mereka melakukan hubungan layaknya suami istri. Ironisnya, hubungan gelap itu dijadikan “alat” bagi lawan politik dalam partai tersebut untuk menjatuhkan politisi itu ketika sudah mendapatkan posisi kekuasaan.

Berbicara posisi politik kita tentunya masih ingat kasus video porno antara anggota DPR Yahya Zaini dan artis Maria Eva yang tersebar kepada publik dan secara tidak langsung menjatuhkan citra politisi tersebut. Kejadian itu menyebabkan politisi itu mengundurkan diri dari parlemen dan sedikit menjauh dari dunia politik yang telah membesarkan namanya. Kasus lain yang tidak kalah heboh adalah tersebarnya video porno antara anggota DPR Karolina Margaret dengan salah satu pengurus organisasi massa di Indonesia. Meski pelaku yang diduga dalam video itu membantah bahwa itu dirinya namun latar belakang masalah kenapa video itu tersebar sempat terungkap di mana ada motif penjatuhan nama baik bagi anggota DPR tersebut karena suatu proyek yang tidak disetujui. Kasus-kasus perselingkuhan antara pejabat yang melibatkan selebritis adalah kasus yang menarik perhatian banyak pihak terutama masyarakat luas karena keduanya merupakan publik figur yang seharusnya menjadi contoh bagi konstituenya dan masyarakat pada umunya.

Perselingkuhan yang terungkap dalam media mungkin selama era reformasi ini sudah mencapai puluhan atau mungkin ratusan. Itupun masih ada yang tidak terungkap oleh media massa, namun yang jelas permasalahan ini sudah menjadi rahasia umum di dalam internal partai itu sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan kasus perselingkuhan dapat terjadi dari sisi selebritis disebabkan oleh dunianya yang penuh kemewahan dan pencarian identitas yang eksklusif.  Para selebritis yang suka melakukan perrselingkuhan dengan pejabat bisa jadi karena ia kagum dengan kekuasaan, kekaguman itu bukan posisi yang dijabatnya namun nilai dari kuasa itu yang bagi mereka memiliki sensasi tersendiri. Jadi bagi selebritis berselingkuh bukan hanya karena nilai ekonomis tetapi bagaimana kekuasaan itu dapat mempengaruhi dirinya dalam bersosialisasi di kalangan orang-orang kelas atas dan ekslusif tersebut. Sedangkan dari sisi pejabat, berselingkuh itu karena aturan hukum yang menyulitkan dirinya untuk beristri lagi sehingga mengambil jalan dengan menikah siri dan berselingkuh. Karena dengan kekuasaan yang dimiliki ada semacam ketidakpuasan ketika mereka belum menguasai seluruh kehidupannya hingga ketingkat yang paling pribadi.

Skandal perselingkuhan antara pejabat dan artis telah menjadi sensasi bagi dunia kekuasaan di Indonesia karena keduanya memiliki daya pengaruh yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Keduanya mendapat ruang yang begitu luas dalam sorotan media maupun beragam akses kekuasaan sehingga mereka membutuhkan suatu sensasi lain dalam hasratnya mengekspresikan tubuhnya yakni melalu hubungan seksual. Hubungan seksual menjadi jembatan antara kuasa dan eksistensi, dimana bagi para pejabat seks sebagai bentuk hasrat untuk berkuasa penuh sedangkan bagi para selebriti hubungan seks merupakan bentuk dari sensasional dunia seleb untuk mencari kepuasan eksistensi diri dalam pergaulan yang penuh glamor.

Seksualitas dan Kekuasaan

Seksualitas dalam arti biologis dapat diartikan sebagai hubungan badan antara dua manusia namun bagi ilmu-ilmu sosial makna seksualitas dapat berupa suatu struktur dan konstruksi sosial. Seksual bagi kaum feminis bisa dijadikan analisa untuk melihat relasi kekuasaan antara perempuan dan lelaki, di mana dominasi maskulin biasanya terdapat pada hubungan badan antara kedua insan tersebut. Seks menjadi sebuah simbol kekuasaan terkecil dalam lingkup penguasaan terhadap tubuh karena pada hubungan intim tersebut kekuasaan tergambarkan melalui posisi dan dalam kenikmatan seksual.

Seorang pemikir posmodern asal Perancis yakni Michael Foucalt memandang bahwa seksualitas dalam sejarahnya adalah aturan perilaku yakni hasrat untuk melembagakan yang terkait dengan seks sebagai konsekuensi penting kekuasaan normatif (dalam Haryatmoko, 2011:1). Foucalt meneliti sejarah seksualitas mau mencari tahu bagaimana kekuasaan dikembangkan oleh wacana, di mana kekuasaan sebagai rejim wacana mampu menggapai dan mengontrol individu sampai pada kenikmatan yang paling intim. Cara yang dilakukannya dapat berupa pelembagaan hubungan dalam pernikahan ataupun undang-undang atau melalui rayuan dan intensifikasi (teknik kekuasaan yang memiliki banyak bentuk) seperti menggunakan uang dan pemberian fasilitas. Hal yang terakhir mungkin sangat tepat dilabelkan kepada para pejabat kita yang suka mengkoleksi dan berhubungan dengan para wanita idamannya. Dengan posisi serta jabatannya yang tinggi para pejabat ini mengontrol kekuasannya tidak hanya dalam hal yang struktural tetapi hingga lingkup tubuh wanita. Dalam kehidupan rumah tangganya mungkin para pejabat ini tidak memiliki kepuasan yang sempurna dalam hubungan seksualnya karena berbagai hal baik fisik ataupun lingkungannya sehingga mereka menjalin hubungan dengan selebritis bukan tanpa alasan selain melegitimasi kuasanya yang semakin kuat terhadap publik figur juga untuk melestarikan status sosialnya di masyarakat agar tetap eksis. Begitu juga para selebritis mereka mungkin memanfaatkan statusnya sebagai publik figur untuk mempertahankan eksistensinya di dunia yang glamour, mewah, dan menjanjikan tersebut. Para artis menikmati skandal tersebut karena sensasinya yang begitu menantang serta tidak jarang karena kebutuhan biologis dan ekonominya yang tinggi sehingga kasus perselingkuhan dengan pejabat semakin meningkat.

Meminjam istilah wacana kuasa Foucalt, para pejabat tersebut menguasai tubuh para selebritis tersebut dengan uang yang mereka miliki serta fasilitas yang mereka berikan. Dengan begitu kontrol kebebasan seksual yang dimiliki para elit tersebut berada pada wanita idaman lain yang mungkin secara tidak langsung dikontrolnya. Lalu bagaimana dengan rumah tangga pribadinya yang mungkin hancur akibat perselingkuhannya tersebut?, bagi kuasa wacana berbagai ranah sosial dapat menjadi kontrol sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa para pejabat dalam menjalin hubungan pribadi antara istrinya yang sah tidak berjalan begitu lancar atau bisa jadi ranah domestik rumah tangganya diberikan secara penuh kepada istri sehingga konsentrasi pasangan hanya di lingkungan domestik. Sedangkan pria berkuasa penuh bila berada diluar rumahnya dan makna ini di implementasikan melalui skandal dan perselingkuhan tersebut, cara pandang patriakis inlah yang mungkin masih terjadi dalam cara pandang masyarakat Indonesia.

Bentuk-bentuk patriaksi yang berada dalam sekeliling kehidupan kita antara lain dapat berupa aturan, norma, media, dan berbagai ruang visual yang melambangkan simbol-simbol pria sebagai bentuk kekuasaan. Sedangkan dalam prilaku seksual para pria kebanyakan memandang wanita sebagai suatu keindahan yang termanifestasikan dari bentuk tubuhnya sehingga kuasa pada diri lelaki terpandang dari konstruksi demikian. Gambaran demikianlah yang menyebabkan kekuasaan pejabat yang di dominasi oleh pria itu memiliki hasrat seksual yang tinggi terhadap wanita yang memiliki status model, artis, dan kalangan sosialita karena menganggap mereka sebagai hiburan dari rutinitas kerjanya yang padat dan penuh aturan yang protokoler. Kemudian mengapa dengan seksualitas hasrat mereka terbebaskan?, karena hanya dengan pencurahan hasrat seksual ruang pribadinya dapat terekpresikan sebab di mata publik wajahnya penuh dengan topeng dan pencitraan.

Friday, September 21, 2012

Membaca Pilihan Politik Kelas Menengah


Oleh Meistra Budiasa

Kemenangan Jokowi pada pilkada DKI putaran pertama menyentakkan banyak pihak. dengan hasil suara yang diperoleh mencapai 45 % (hasil resmi KPU) membuat para analis, politisi, media massa, masyarakat membahasnya dengan beragam interpretasi. Kemenangan tersebut menjadi menarik dibicarakan bukan tanpa alasan karena sosok Jokowi sebagai walikota Solo yang berhasil menciptakan kejutan dalam kepemimpinannya. Masyarakat mulai mengenal beliau ketika dirinya berhasil menciptakan proyek mobil nasional yang bernama Esemka sebagai cita-cita membangun industri otomotif nasional. Gebrakan tersebut seperti memukul kepemimpinan nasional yang terkesan tidak mempunyai visi dan misi dalam membangun industri nasional terutama pemerintahan pusat yang dalam hal ini berada di pusat ibu kota negara Jakarta. Langkah yang dilakukan oleh Jokowi tersebut seperti mewacanakan bahwa para pemimpin di pusat terutama di Jakarta hanya sibuk berwacana politik dan hanya memikirkan kepentingan pribadinya saja tanpa memiliki tindakan nyata dalam membangkitkan perekonomian nasional dengan menciptakan karya sendiri. Sosok Jokowi sebagai ikon perubahan dan jati diri bangsa semakin menguat ketika beliau mengendarai sendiri mobil Esemka tersebut dari Solo ke Jakarta untuk mendapatkan ijin dari pemerintah agar dapat menjadi salah satu proyek mobil nasional. Gambaran tersebut mendapat simpati banyak pihak terutama masyarakat yang sudah bosan dengan kondisi sosial politik yang tak kunjung berubah sehingga mereka mengharapkan sosok orang yang dapat berbuat nyata untuk bangsa.

Bagi sebagian besar masyarakat perkotaan yang penuh dengan berbagai rutinitas pekerjaan serta kehidupannya yang monoton memaknai perubahan sangatlah berarti, karena mereka menginginkan suatu kepastian jalannya roda pemerintahan sehingga tindakan nyata lebih dilihat daripada sekedar wacana. Pandangan ini mungkin dimiliki oleh berbagai kelompok sosial di wilayah perkotaan terutama kelas menengah yang pertumbuhannya selalu meningkat setiap tahunnya. Kelas menengah khususnya di wilayah perkotaan membutuhkan sarana dan prasana yang menunjang rutinitasnya seperti pelayanan publik yang memuaskan mereka sehingga tidak menghalangi kegiatan sehari-harinya sebagai contoh kemacetan, transportasi umum yang tidak memadai, serta kepengurusan adminitrasi publik yang mudah. Maka melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerahlah kelas menengah ini menyuarakan ekspresinya sebagai bagian dari eksistensinya dalam dunia politik. Meskipun politik bagi kelas menengah terkadang hanya bagian dari seremonial berdemokrasi namun yang menariknya kelompok tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam suara politik baik dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah seperti yang terjadi pada pilkada DKI putaran pertama beberapa waktu lalu di mana pemilih Jokowi kebanyakan berasal dari kelas menengah. Meski tidak begitu fenomenal tetapi kelas menengah dari masa ke masa selalu menarik untuk diperbincangkan khususnya dalam memandang ideologi apa yang mereka miliki dalam menentukan suaranya.

Kelas Menengah di Indonesia dari Orde Baru hingga Reformasi
Kelas menengah di Indonesia mulai terdefinisikan ketika Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto memberikan banyak fasilitas dan tempat kepada mereka hal ini untuk menopang jalannya roda pembangunan negara. Kelompok menengah ini terdiri dari para eksekutif muda yang bekerja di pusat kota atau para lulusan sarjana yang memiliki gaya hidup metropolitan (Robinson, 1986). Pada era Orde Lama kelompok ini mungkin tidak banyak dibicarakan karena pada masa itu penuh dengan gejolak ideologi politik sedangkan pada era Soeharto mereka diberikan kemudahan posisi seperti menjadi tim penasihat pada pemerintahannya maupun dukungan fasilitas yang menunjang bagi kelompok ini seperti pembangunan kota lengkap dengan sarana prasarana yang bercirikan metropolitan dan global. Ruang gerak yang diberikan Orde Baru tersebut juga berupa pemberian lapangan kerja yang luas kepada para lulusan sarjana muda agar pertumbuhan perkotaan lebih dikedepankan dan dapat menjadi barometer bagi daerah di Indonesia. Konsep pembangunan yang sentralistis di kota besar inilah yang menyuburkan tumbuhnya kelas menengah perkotaan apalagi saat itu Indonesia mendapat keuntungan dari naiknya harga minyak dunia yang terkenal dengan periode boom oil pada tahun 1978. Salah satu ciri dari kelas menengah perkotaan yaitu sering kumpul di kafe-kafe bermerk internasional, sering pergi ke mall, maupun ruang publik yang terkesan ekslusif di kawasan perkotaan, mereka lebih mengutamakan gaya hidup yang cenderung terkesan masyarakat perkotaan. Namun pada tahun 1998 kelompok menengah ini menjadi salah satu penopang bagi perubahan di Indonesia ketika mereka secara serentak menolak kepemimpinan Soeharto karena pemerintahannya yang tidak demokratis serta lebih mengedepankan kroni dan keluarganya dalam memanfaatkan fasilitas negara.

Pasca Orde Baru atau era reformasi dan demokrasi saat ini, kelas menengah kembali menjadi sorotan dari komunitas politik dan media. Kelas menengah pada masa saat ini kembali memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial politik Indonesia yang bagi sebagian orang masih dikatakan sebagai era transisi. Bank Dunia bahkan memperkirakan jumlah kelompok menengah ini sekitar 135 juta jiwa dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Perkembangan didorong oleh sistem ekonomi neoliberal di mana kelompok menengah menjadi sasaran konsumsi dari paham tersebut sehingga kondisi pasar tetap terjaga.

Jumlah kelas menengah sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini dalam segi ekonomi mengalami banyak peningkatan bahkan cenderung terus tumbuh namun secara politik kelompok ini cenderung tidak dapat dikendalikan secara penuh oleh partai politik mereka lebih bersifat konservatif dalam menghadapi persoalan bangsa. Dalam survey litbang Kompas mengenai kelas menengah 2012 menemukan bahwa kelas menengah di Indonesia mencapai 50.3 persen dan ini dicirikan dengan rata-rata pendidikannya setingkat SMA, dengan penghasilan Rp. 1,9 Juta per bulan serta pengeluaran Rp. 750 ribu – Rp. 1,9 Juta per bulan (Kompas, 2012). Yang lebih mengejutkan secara politik mereka cenderung apatis dan belum mau bergerak mengorganisasikan diri untuk perubahan. Kelompok menengah masih menikmati indahnya gaya hidup perkotaan dan identitas global seperti mengkonsumsi barang, kuliner, gaya hidup maupun jenis pekerjaan yang menyimbolkan bahwa dirinya adalah masyarakat global. Mungkin ini akibat dari tidak jelasnya arah negara ketika berhadapan dengan globalisasi yang sudah semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga kelompok menengah ini tidak begitu menghiraukan apa yang terjadi pada kondisi sosial politik. Meski demikian mereka masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan daerah.

Pilihan politik kelas menengah
Berkaca dari putaran pertama pilgub DKI di mana kelas menengah mulai bersuara dengan memilih Jokowi yang sempat tidak diperhitungkan sebelumnya maka penulis memandang bahwa kelompok menengah ini secara tersembunyi sudah memiliki sikap politik. Biarpun mereka digambarkan sebagai kelompok yang apatis namun mereka masih ingin memiliki eksistensinya dengan berpartisipasi dalam demokrasi prosedural yakni pemilihan umum. Mereka ingin mendapat pengakuan sebagai kelompok yang berpengaruh terhadap perubahan karena peran kelompok ini terasa diperhitungkan oleh berbagai komunitas politik. Gambaran ini bagi penulis memperlihatkan bagaimana kelas menengah secara sadar memposisikan dirinya sebagai kelompok yang ingin diperhitungkan dalam kehidupan bernegara, ini terbuktikkan ketika mereka sering berkicau di media sosial tentang permasalahan kehidupan sehari-hari yang dekat dengannya. Mereka tidak membutuhkan wacana-wacana politik tapi menginginkan figur pemimpin yang dapat bekerja keras untuk bangsanya karena bagi kelas menengah negara sudah memiliki sistem yang ajeg sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.

Sikap pragmatis dan praktis inilah yang dimiliki kelas menengah perkotaan, mereka adalah kelompok yang memandang negara berdasarkan pengalaman hidup kesehariannya bukan dengan jargon-jargon ide maupun teori. Jadi ketika anda bisa bekerja dengan jujur, keras, profesional, dan mengabdi maka akan menjadi pilihan tepat bagi kelas menengah. Sebaliknya jika para pemimpin hanya sibuk berdebat dengan isu yang tidak ada ujungnya atau berwacana visi misi politik belum tentu kelompok ini tertarik dengan hal tersebut. Mereka sudah lelah dengan berbagai aktivitas yang menyita waktu berpikirnya karena setiap hari mereka beraktivitas mulai dari bekerja hingga berkonsumsi di hari libur. Sehingga politik hanya sebagai bagian dari seremonial mereka dalam kehidupan bernegara yang kebetulan tersalurkan pada pemilihan umum, daerah, desa, RT, dan RW. Mereka masih cukup rentan dengan pencitraan iklan-iklan politik karena kebiasaan kelompok ini berkonsumsi dan memandang citra suatu produk lebih berarti daripada isinya. Pemilihan putaran kedua gubernur DKI adalah salah satu ujian kembali bagi kelas menengah apakah mereka masih diperhitungkan ataukah justru tidak menentukan pilihan, atau mungkin mereka memilih berdasarkan pencitraan?, sebagai penutup penulis memandang bahwa mereka mungkin tidak peduli dengan perdebatan isu-isu politik nasional tetapi mereka peduli ketika ada sosok yang dapat bertindak nyata. Semoga dapat menjadi refleksi untuk pemilu 2014...

Tuesday, August 14, 2012

Survey Politik dan Representasi Media

-->
Survey politik dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar guna mengetahui elektabilitas calon pemimpin maupun partai politik. Melalui survey maka para penggiat politik akan lebih bekerja keras membangun basis organisasi dan merancang strategi jitu untuk memenangkan pemilihan umum. Di berbagai belahan dunia survey menjadi rujukan bagi semua kompetitor politik untuk mengetahui peta kekuatannya dan kemudian dijalankan menjadi agenda kampanye. Survey dilakukan oleh lembaga kredibel dan memiliki reputasi yang berpengalaman dalam komunitas politik, tidak sedikit dari lembaga-lembaga ini memiliki koneksi dengan para pemimpin politik sehingga perannya dapat menjadi konsultan.

Di Indonesia, hiruk pikuk pemilihan umum nasional masih dua tahun lagi, namun sudah diramaikan oleh berbagai hasil survey yang telah menggambarkan beberapa tokoh untuk menjadi pemimpin pada 2014 yang akan datang. Partai politik yang diperkirakan unggul pun sudah bisa digambarkan melalui survey ini bahkan belakangan hasilnya banyak menjadi rujukan bagi partai politik untuk bekerja keras mengambil hati dan simpati masyarakat. Para lembaga survey tersebut biasanya menggunakan pers sebagai institusi yang dianggap dapat menyebarkan hasil kajiannya kepada khalayak umum sehingga persepsi atas seseorang tokoh atau organisasi politik bisa lebih mengena. Saluran media merupakan hal yang paling tepat untuk sosialisasi hasil polling dari berbagai lembaga yang kredibel dibidangnya tersebut. Selanjutnya dapat ditebak sendiri bahwa media massa (khususnya televisi) kemudian memberitakan dengan berbagai kepentingannya.

Hasil dari survey politik ini menjadi perbincangan dan wacana dalam media televisi dalam beberapa bulan ini, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika beberapa lembaga survey mengeluarkan hasil kajiannya terhadap calon presiden RI 2014 mendatang. Beberapa nama tokoh baik masa lalu maupun sekarang masuk dalam bursa capres dengan elektabilitas pemilih yang bervariasi dan menariknya salah satu tokoh yang mempunyai hasil survey tertinggi memiliki catatan masa lalu yang kelam yakni penculikan aktivis dan pembungkaman demokrasi. Masyarakat seakan dipersepsikan sudah melupakan tragedi kelam tersebut namun berkat konstruksi media maka perbincangan dosa masa lalu telah terpinggirkan oleh kontestasi antar lembaga survey yang saling bersahutan mempublikasikan hasil kajiannya. Hasil survey ini kemudian menjadi komoditas informasi bagi industri media televisi dengan beragam kepentingan ekonomi politiknya, survey tersebut menjadi alat kekuatan para pemilik media yang memiliki akses dan jaringan luas terhadap berbagai kalangan. Hasil survey politik direpresentasikan oleh media televisi melalui bermacam program baik berita, talkshow, ataupun parodi politik. Sebagai ruang wacana bagi masyarakat mungkin sah saja media massa menggambarkan hasil survey politiknya untuk rujukan pemilih, namun yang menjadi permasalahan ketika menjadikan hasil survey tersebut sebagai alat konstruksi berpikir kepada masyarakat agar terfokus kepada salah satu calon ataupun partai politik tertentu. Peran media yang seharusnya dapat mencerahkan berubah menjadi tunduk kepada kepentingan politik tertentu, secara umum mungkin tidak terlihat bagaimana media tersebut mendukung tetapi hal ini terlihat dari representasi kontennya yang disampaikan kepada khalayak.
Konsep representasi dalam media tidak sekedar mereproduksi atau menampilkan kembali sesuatu fakta kepada khalayak, tetapi melalui beragam konsepnya representasi menghadirkan makna tertentu kepada kita. Konsep representasi Stuart Hall dengan pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna dibuat oleh pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki (Hall, 1997:25). Makna tersebut digunakan untuk merepresentasikan konsep tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat dapat menentukan maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem representasi yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika seorang presenter televisi mempertanyakan hasil survey terhadap suatu partai yang sedang terpuruk dengan beragam pertanyaan yang lebih menyudutkan partai tersebut. Melalui narasi yang disampaikannya itu maka secara tidak langsung konstruksi makna telah tercipta dan audiens televisi dapat memaknainya dengan tersendiri. Berdasarkan konsep inilah maka survey politik ketika masuk kedalam ruang media televisi sangat rawan akan manipulasi bahasa sehingga pemirsa dibawa kedalam permainan kuasa bahasa yang muaranya mengarah kepada kekuatan tertentu. Tentunya tidak seluruh media merepresentasikan hal demikian namun melihat peta industri televisi yang saat ini dikuasai oleh para politisi maka akan rawan manipulasi. Meski demikian masih ada beberapa media massa yang menjadikan survey politik hanya untuk wacana di masyarakat tanpa memiliki kepentingan pribadi politiknya.

Lembaga survey politik sendiri bagian yang cukup penting dalam menentukan peta politik nasional namun mungkin lebih dituntut untuk lebih independen dan bebas dari kekuatan politik sehingga hasilnya benar-benar untuk pencerahan masyarakat. Masalahnya banyak lembaga survey yang saat ini menjadi konsultan politik dan membutuhkan media agar lebih mengena strategi kampanyenya sehingga lembaga tersebut akhirnya hanya sebagai sebuah event organizer yang menjadi salonnya para calon pemimpin maupun mencitrakan suatu partai politik. Kolaborasi antara konsultan politik dan media inilah yang kini marak dalam ruang politik Indonesia saat ini, seperti rahasia umum lembaga-lembaga ini lahir dari situasi pasar yang memungkinkan di negeri ini. Di mana para politisi memanfaatkan lembaga konsultan dan riset politik sebagai alat ukur mereka memenangkan percaturan politik dan menggarap media massa untuk mempromosikan isu-isu yang dibawanya. Sehingga secara tersirat media massa tergiring isunya oleh kolaborasi antara konsultan dan calon tersebut, membuat narasi yang direpresentasikannya cenderung tidak objektif serta memanipulasi kebenaran.


Berkembangnya industri konsultan dan riset di Indonesia hendaknya dibarengi dengan penyadaran politik kepada masyarakat agar partisipasi politik dalam bernegara lebih meningkat. Sementara media sebaiknya berperan aktif dalam membahas maupun mengkritisi hasil survei tersebut agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang serta dapat memilihnya dengan rasionalitasnya. Apabila survey politik tetap berperan sebagai konsultan yang tidak konstrukstif dengan representasi media yang juga tidak kapabel maka lahirlah sosok orang pemimpin yang tidak terduga seperti yang terjadi pada pilkada DKI saat ini. Semoga para konsultan dan pembuat survey politik menyadari hal ini.

Sunday, July 08, 2012

Jakarta sebagai Arena Konsumerisme


Tulisan Airlangga Pribadi tanggal 2 Juni 2012 berjudul “Jakarta Sebagai Episentrum Perubahan” menarik untuk ditanggapi. Pandangan beliau mengenai kota Jakarta yang butuh pemimpin yang dapat membawa perubahan di era globalisasi patut dijadikan bahan refleksi bersama. Kehidupan kota Jakarta yang sedang mengikuti irama kota-kota besar dunia seperti New York, Hongkong, Singapura terkadang mengorbankan kelompok yang lemah dalam praktek pembangunannya. Dalam paparannya Airlangga Pribadi menggambarkan bagaimana Jakarta yang sekarang berada di pusaran globalisasi membutuhkan sosok pemimpin yang peduli dengan rakyatnya bukan hanya memikirkan kemajuan sebuah kota besar, beliau kemudian menyebut nama Jokowi sebagai orang yang dianggap pro dengan rakyat dan bisa menjadi pemimpin alternatif untuk Jakarta karena keberhasilannya memodernisasi pedagang pasar tradisional di Solo, Jawa Tengah. Penulis bermaksud untuk memberikan beberapan tambahan dan mengkritisi pandangan beliau yang bagi penulis perlu ada beberapa penjelasan khususnya mengenai konsep globalisasi berkeadilan yang menjadi rujukan dari tulisan tersebut.

Terintegrasinya dunia dalam satu tatanan sistem globalisasi adalah hal yang fenomena pada awal abad 21 ini para politisi, ekonom, akademisi, masyarakat perkotaan, anak sekolah dan hampir seluruh masyarakat mempunyai argumentasi tersendiri dalam membicarakan kata globalisasi tersebut. Paham ini membutuhkan penopang di suatu negara agar nilai-nilai dari globalisasi tersebut diterima oleh masyarakat luas dan perkotaan merupakan salah satu penopangnya. Kota menjadi ruang bagi pasar bebas untuk mengimplementasikan aturan beserta nilai-nilai yang dikandungnya, maka tidak mengherankan apabila ruang-ruang imajiner dibangun dalam suatu kota besar. Berdirinya mall, galeri, kafe dengan brand luar negeri, dan restoran cepat saji begitu pesat dibangun dengan suasana urban seperti di kota-kota besar negara barat sehingga masyarsakat perkotaan memiliki persepsi bahwa gaya hidupnya sudah sesuai dengan global. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Jakarta telah dipersiapkan sebagai kota yang mengikuti arena tersebut sehingga tidak jarang orang banyak mengatakan bahwa ibu kota negara ini menjadi sarang konsumerisme karena seluruh gaya hidup yang terkesan global tersebut tersedia dalam berbagai bentuk. Masyarakat perkotaan kemudian menyimbolkan suasana global tersebut dengan brand atau merk yang terpampang mulai dari fashion hingga kuliner.

Dalam hal berdemokrasi masyarakat perkotaan lebih banyak mempelajarinya melalui ruang perdidikan, representasi media elektronik baik berupa talk show televisi, diskusi radio dan lain sebagainya. Demikian juga yang terjadi dalam ruang demokrasi jalanan Jakarta di mana semua aliran politik hingga agama mempertunjukkan aksinya untuk memperjuangkan haknya dengan bentuk yang beraneka macam. Ruang publik kota mempersilahkan aksi-aksi tersebut dengan dalil demokrasi karena selera pasarlah yang menentukan aksi tersebut bermanfaat atau tidak, hal ini menyebabkan isu-isu yang dibawa demonstran terkadang menjadi bahan komoditas politisi.

Ruang publik yang ada dalam kota Jakarta pun lebih di dominasi oleh media luar ruang seperti baliho, papan reklame, hingga mural-mural yang merepresentasikan modernitas masyarakat perkotaan sehingga identitas bersama yang dirasakan oleh warga Jakarta adalah berbentuk hal-hal yang telah termaterialkan dan berhasil tergambarkan oleh media sehingga kembali lagi mata masyarakat menjadi komoditas suatu produk. Dengan ruang yang sarat dengan situasi pasar tersebut muncul juga benih-benih kemarahan masyarakat yang hal ini tercermin dari kefrustasian masyarakat perkotaan menghadapi permasalahan seperti mudah marah ketika bersenggolan kendaraan bahkan perkelahian pelajar yang tak kunjung berhenti dari masa ke masa. Inilah potret kota Jakarta yang dikonstruksikan oleh para pemimpinya sebagai wilayah modern yang ingin disejajarkan dengan kota-kota besar di seluruh dunia, sehingga urbanisasi menjadi harapan bagi banyak orang di pedesaan karena kota menawarkan hal impian yang begitu luas. Impian tersebut ternyata hanyalah sekedar pemanis saja karena penguasa akses ekonomi di perkotaan masih dikuasai oleh para pemilik modal atau hanya orang-orang kaya saja sedangkan masyarakatnya diberikan terus impian akan nikmatnya hidup di perkotaan. David Harvey dalam buku terbarunya berjudul Rebel Cities (2012) menyatakan bahwa kualitas kehidupan perkotaan telah menjadi komoditas bagi mereka dengan uangnya, karena rasa memiliki perkotaan itu di mana konsumerisme, pariwisata, budaya, dan pengetahuan industri menjadi tontonan ekonomi dan telah menjadi aspek utama ekonomi politik.

Dari gambaran ini sangat sulit mencari sosok pemimpin Jakarta yang memikirkan benar kebutuhan dasar masyarakatnya karena akan berhadapan dengan kepentingan modal yang begitu besar. Sosok Joko Widodo yang menurut Airlangga Pribadi mampu mengatasi serangan globalisasi tersebut karena sudah teruji di kota Solo itu masih perlu diperdebatkan. Bagi penulis sosok Jokowi tidaklah mampu untuk mengurusi permasalahan kota Jakarta. Karena kota ini sarat dengan banyak kepentingan ekonomi politik sehingga bisa saja sosok pemimpin yang bersih dan idealis akan terbawa arus kepentingan atau malah terus diganggu oleh beragam persoalan. Momentum pilkada DKI kali ini hanya menjadi ajang perebutan modal untuk menguasai wilayah ibu kota, karena dengan APBDnya terbesar di Indonesia yakni mencapai 36 triliun rupiah maka perlu pengelolaan keuangan yang transparan agar tidak terjadi korupsi baik yang dilakukan oleh individu maupun partai politik pendukungnya. Yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah kenyamanan bagi warganya yang beraktivitas baik di dalam rumah maupun di luar rumah, karena masyarakat merasa terancam oleh berbagai permasalahan kota seperti kemacetan, kriminalitas, demonstrasi, konflik sosial, standar kehidupan dan lain sebagainya. Pilkada DKI harus melahirkan pemimpin yang dapat menyadarkan masyarakatnya semangat kebersamaan dan menghapus ilusi konsumerisme yang melanda warga Jakarta. Semoga ini dapat menjadi bahan catatan kita semua.

Monday, July 02, 2012

Memudarnya Politik Pencitraan


Politisi saat ini mendapat penurunan popularitas di mata masyarakat, ini terbukti pada survey dari berbagai lembaga yang mengindikasikan hal tersebut. Masyarakat mengalami kekecewaan yang begitu besar dengan kiprah para politisi dan partainya yang semakin menjauh dari problematika kehidupan sehari-hari, anggota partai maupun elit politik di kekuasaan tidak pernah membahas hal-hal yang krusial di masyarakat. Elit politik lebih banyak membahas kasus-kasus yang lebih membela kepentingan partai, kelompok, maupun institusinya. Sehingga di media kita dipertontonkan suatu pertikaian elit yang tak kunjung henti tanpa mengetahui maknanya bagi khalayak umum meski para politisi berdalil bahwa ini bagian dari demokrasi dan perdebatan terjadi akibat regulasi yang tidak pro rakyat. Para politisi lebih menampilkan performa dirinya baik dalam bicara, sikap tubuh, dan mungkin berpakaian ketika berhadapan dengan media sehingga kita tidak pernah melihat isi pemikiran sosok politisi tersebut. Bila kondisinya demikian adalah wajar jika masyarakat saat ini mempertanyakan kiprah para penggiat politik di lembaga negara tersebut karena tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Persoalan diatas merupakan buah dari model kampanye politik yang lebih mengedepankan jargon dibandingkan gagasan yang konseptual, pernyataan ini bisa dibuktikkan ketika berlangsungnya pemilihan umum dan kepala daerah. Di mana para calon pemimpin lebih banyak mempromosikan dirinya melalui berbagai bentuk media seperti poster, selebaran, baliho dan lain sebagainya yang memenuhi hampir seluruh ruang publik. Dalam iklan di ruang publik tersebut mereka hanya menampilkan sosok dirinya dan kalaupun ada tagline politik itu pun hanya sebuah slogan yang lebih mudah diingat oleh masyarakat. Sehingga publik mengingat kandidat hanya dari performanya di media atau ketika tampil dengan karakter yang sudah dikonstruksikan sebagai sosok yang cakap. Esensi dari program politik yang ditawarkan juga tidak begitu menyetuh realita, mereka lebih menyukai dengan jargon-jargon yang sekiranya mudah dimengerti sehingga masyarakat hanya disuguhkan sebuah image yang semu seperti mereka membeli suatu barang yang belum tentu ada manfaat bagi dirinya.

Para pelaku politik baik pemimpin daerah maupun nasional banyak menggunakan strategi berkomunikasi tersendiri agar dirinya mendapat dukungan luas di masyarakat. Bentuk-bentuk komunikatif seperti terjun langsung bertemu konstituen, mengadakan lomba, pengajian hingga menghadiri pesta pernikahan merupakan bentuk komunikasi politik yang sering dilakukan oleh para calon pemimpin tersebut. Dengan tujuan untuk membuat citra di masyarakat bahwa calon tersebut dekat dengan konstituen serta memiliki basis massa yang nyata. Sarana lain sebagai penunjang hal tersebut yaitu dengan spanduk dan umbul-umbul yang turut meramaikan suasana kehadiran para calon pemimpin tersebut. Para calon pemimpin ini terkadang menggunakan cara-cara beriklan ketika berkampanye seperti menjual suatu produk dipasaran kemudian dengan bentuk kemasan yang menarik maka produk tersebut dapat di konsumsi oleh masyarakat, meskipun begitu massa hanya dapat merasakannya secara semu karena tidak memahami secara benar apakah produknya itu sesuai dengan kebutuhannya.

Iklan merupakan suatu bentuk promosi suatu barang atau jasa untuk menarik masyarakat memilih produknya sehingga laku terjual. Perkembangan industri periklanan yang cukup pesat saat ini membuat cara – cara berpromosi iklan semakin dibutuhkan, bentuk yang dipromosikannya bisa cukup beragam salah satunya berupa sosok individu yang mempromosikan dirinya demi kepentingan sosial maupun politik. Bila dalam promosi suatu produk citra yang ditampilkan berupa barang yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia maka pada promosi individu sosok dari orang tersebut yang dicitrakannya agar masyarakat dapat memilihnya dalam kontes demokrasi baik pemilu maupun pilkada. Dunia periklanan adalah sebuah arena yang semu karena apa yang ditampilkan kepada kita terkadang tidak berdasarkan sesuai kenyataan, bagi Judith Williamson dalam “Decoding Advertisements” (1978) iklan tidak hanya memiliki fungsi untuk menjual produk kepada kita tetapi iklan menciptakan suatu struktur-strukur makna. Struktur tersebut adalah ideologi di mana perwujudannya berupa cara mengemas iklan tersebut bermakna sesuatu bagi kita (1978: 51). Sebagai contoh suatu produk perhiasan di maknai sebagai kemewahan dan kemegahan atau sosok seseorang digambarkan sebagai figur yang merakyat, keduanya memiliki konsep pemikiran yang sama yaitu pencitraan.

Pencitraan merupakan suatu hal yang umum dalam dunia promosi karena hanya dengan cara demikian maka suatu produk dapat populer. Namun apa jadinya bila ini terjadi pada dunia politik yang notabene membutuhkan efek nyata untuk masyarakat bukan ilusi-ilusi yang dikemas sedemikian rupa oleh para tim sukses. Pencitraan dalam dunia politik bagi sebagian elit partai merupakan suatu hal yang biasa dan menjadi simbol bagi dirinya di masyarakat luas. Tetapi bagi masyarakat politik itu harus dapat menjadi pilar perubahan bagi kondisi kehidupannya bukan sekedar janji manis yang membuai atau sekedar memanfaatkan mereka untuk mendulang suara. Jangan jadikan masyarakat seperti konsumen yang dimanfaatkan oleh iklan untuk membeli suatu produk karena cara demikianlah yang membuat politik uang semakin besar sehingga berujung dengan korupsi ketika sudah terpilih hal inilah yang kemudian menyebabkan politik kini mendapatkan citra yang buruk.
Memburuknya citra politik ini tidak hanya hanya karena prilaku dari sebagian indvidunya yang hanya mementingkan dirinya tetapi kondisi demikian didukung oleh model kampanye politiknya yang memandang massa sebagai komoditas atau konsumen. Sedangkan para politisi ditampilkan seperti suatu produk yang harus dibeli dengan jaminan bahwa produknya adalah nomor satu. Para calon dan politisi sekarang yang sebentar lagi akan mulai berkampanye baik pemilu legislatif maupun eksekutif mendatang harus lebih mendekatkan diri dengan masyarakat bukan dengan cara-cara seperti beriklan. Karena pendekatan dengan masyarakat itu lebih penting selain itu para calon pemimpin di negeri ini juga harus berpikir bagaimana menjadi bagian dari masyarakat bukan memandang bagaimana masyarakat dapat memilih dirinya. Dalam sejarahnya pemimpin lahir karena mereka merasa bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat dan melalui proses alamiah mereka lahir sebagai pemimpin yang dicintai rakyatnya.

Tuesday, March 06, 2012

Presiden SBY dan Sorotan Media

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini seperti terjebak oleh slogan dan jargon kampanye politiknya mengenai pemberantasan korupsi. Partai yang didirikannya menghadapi badai dugaan korupsi yang dashyat sehingga menjadi polemik dalam perpolitikan internal maupun eksternal, kadernya seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh telah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Sedangkan beberapa nama lainnya seperti Ketua Umum Anas Ubaningrum diduga tersangkut pula dalam kasus ini.
Kasus korupsi tersebut menjadi semakin seksi dibicarakan oleh media karena partai ini dalam salah satu iklan kampanye politiknya menggunakan jargon anti korupsi dengan menampilkan sosok petinggi partai tersebut. Permasalahan ini kemudian menjadi sangat ramai dibicarakan dalam media massa, bukan hanya karena Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu melainkan juga sosok SBY yang menjadi ikon berdirinya partai tersebut.

Sejak Pemilu 2004, pemberitaan mengenai sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewarnai beragam media di Indonesia. Koran, radio, dan televisi tidak berhenti memuji dirinya yang terlihat memiliki kecakapan dalam memimpin, apalagi beliau berasal dari kalangan militer. Media kemudian merepresentasikan SBY melalui beragam foto ataupun kegiatan yang melegitimasi bahwa beliau sudah pantas memimpin Indonesia yang kala itu masih mengalami kebimbangan dalam kehidupan transisi demokrasi.

Momentun pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali diadakan sejak reformasi tahun 2004 membuat sosok SBY semakin populis dan berhasil memimpin negeri ini bersama wakilnya saat itu, Jusuf Kalla. Kebijakan pemerintah kemudian menjadi sorotan media, secara berkesinambungan media mencitrakan bahwa Presiden SBY telah berhasil membawa Indonesia menuju perubahan.
Kritikan media kemudian mulai berkembang ketika Istana mewajibkan para jurnalis yang ingin meliput kegiatan kepresidenan harus mengenakan pakaian jas dan blazer. Namun, yang tidak kalah menariknya yaitu ketika tindakan Jusuf Kalla dalam beberapa kebijakan dan kesempatan lebih cepat dari dirinya, media pun saat itu mulai membahas karater presiden yang lambat laun terlihat seperti bergerak lamban.
Di saat itulah media mulai membandingkan SBY dengan wakilnya yang bergerak lebih cepat apalagi saat itu banyak bencana alam yang terjadi seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan Padang.
Sorotan media yang begitu aktif memberitakan pemerintahan SBY membuat segala tindakannya mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan hanya sebagai sosok seorang presiden, melainkan juga karena sejak awal media telah mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang hangat dan menjadi harapan masyarakat.

Tetapi, satu per satu permasalahan di sekitar dirinya mulai menjadi komoditas media mulai dari kasus korupsi yang menimpa besannya, Aulia Pohan, kasus Antasari Azhar, Bank Century dan yang paling terbaru adalah skandal korupsi di tubuh partainya. Selama 8 tahun pemerintahan SBY berjalan baik bersama Jusuf Kalla ataupun Boediono, media sangat detail dan begitu mendalam memberitakan jalannya roda pemerintahan.

Ada yang mendukung serta tidak sedikit yang mengkritisi secara terbuka dalam beragam ruang media. Sosok SBY pun seperti menjadi tontonan dalam media karena setiap tindakannya selalu menarik untuk menjadi bahan berita. Meski ini mungkin adalah kerja dari para konsultan media di sekitarnya, tetapi yang jelas beliau telah menjadi konsumsi media dalam ranah politik.

Televisi, radio, film, serta produk budaya media lainnya merupakan sarana bagi seseorang merepresentasikan identitas, kedirian, gagasaan atau bahkan kelas, ras, kebangsaan dan etnisitasnya. Media kemudian membantu untuk membentuk pandangan kita terhadap sesuatu hal yang baik atau buruk, positif atau negatif serta bermoral dan tidak bermoral.

Dengan media pula, kita dipertontonkan hal-hal di atas sehingga persepsi terhadap sosok seseorang tergantung dari bagaimana media itu merepresentasikannya. Para jurnalis mungkin hanya menyajikan sebuah fakta yang ada atau mungkin para konsultan komunikasi mempunyai akses yang luas kepada media sehingga wartawan disuguhkan sebuah konsumsi informasi yang telah dikonstruksi sebelumnya.
Budaya media menurut Douglas Kellner (1996), menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi hiburan, membentuk opini politik, dan perilaku sosial, hingga memberi suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Kellner juga menyatakan bahwa budaya media merupakan area konstestasi di mana kelompok-kelompok sosial yang kuat dan ideologi politik saling bersaing berjuang untuk menjadi yang dominan, sedangkan masyarakat bisa ikut merasakan perjuangan identitas ini melalui imaji-imaji, wacana, mitologi, dan tontonan yang diketengahkan oleh media. Kemudian, lewat narasi, adegan, dan gambar yang ditampilkan, sosok seseorang akan terlihat akan lebih dekat dengan masyarakat atau bahkan menjadi sensasi tersendiri bagi audiens yang menontonnya.

Pernyataan di atas sepertinya terjadi pada diri SBY, di mana melalui media beliau mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang layak memimpin negeri ini. Namun, di sisi lain, media dengan segala kepentingan ekonomi politiknya juga menyerang gaya kepemimpinannya.
Sedangkan audiens hanya menjadi penonton yang menikmati sensasi-sensasi narasi yang ditampilkan dalam media khususnya televisi. Sementara banyak pekerjaan rumah dalam negeri ini yang masih belum terselesaikan hingga membuat permasalahan semakin menumpuk dan masyarakat juga semakin berteriak karena kebutuhan hidupnya yang makin mahal.

Thursday, February 16, 2012

Demokrasi dalam Media Internet

     Internet telah menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri, menggali informasi, bahkan memobilisasi massa. Hal ini terbukti pada gerakan sosial di Tunisia pada tahun 2011 yang lalu ketika internet menjadi penggerak mobilisasi massa yang kemudian menjadi pemicu bagi munculnya demonstrasi besar di Mesir, Libya, dan Syria yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi sosial politik di Timur Tengah
. Selain di dunia Arab tersebut, aksi protes juga terjadi di negara Eropa seperti Yunani, Inggris dan negara lainnya akibat krisis ekonomi yang melanda negara-negara tersebut. Sementara di Rusia juga terjadi aksi menentang Putin kembali menjadi presiden dan Amerika Serikat dengan aksi pengepungan wall street yang menginspirasi gerakan occupy di seluruh dunia untuk menduduki pusat-pusat ekonomi. Aksi protes yang terjadi di belahan dunia tersebut merupakan buah dari keterbukaan informasi yang terdapat dalam media internet, sehingga media ini menjadi ruang baru bagi demokrasi rakyat.

Peran internet dalam era demokrasi
     Internet bukanlah hal baru dalam dunia komunikasi, jenis media ini masuk kedalam kategori new media yang salah satu definisinya berupa pesan informasinya melalui media internet berupa email, live streaming, mailing list, ataupun telepon genggam. Salah satu karakteristik dari new media adalah kecepatannya dalam menyampaikan informasi dibandingkan media cetak ataupun elektronik. Melalui salah satu definisinya yaitu media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter serta dukungan telepon pintar membuat orang kapan saja dan dimana saja dapat mengakses serta menyebarkan informasi secara lebih cepat. Kehadiran media sosial tersebut beserta dukungan kecanggihan alat komunikasi membuat interaksi masyarakat di dunia semakin cepat dan up to date sehingga memiliki makna tersendiri dalam arus demokrasi

     Demokrasi perwakilan yang selama ini dianut oleh banyak negara adalah interaksi antara elit dan massa, di mana melalui perwakilannya baik eksekutif maupun legislatif masyarakat mengharapkan suaranya dapat didengar atau menjadi salah satu masukan bagi kebijakan negara. Komunikasi yang terjalin pun berlangsung secara lateral atau lebih kepada pemimpin yang bersifat aktif menyuarakan suara massa. Sedangkan massa sendiri terkadang merasa suaranya tidak terwakili dan cenderung di monopoli oleh pemimpin negaranya. Sebagai contoh yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya di mana ekspresi masyarakat cenderung dibungkam oleh elit kuasa yang tidak mau mendengar asipirasi massa. Dengan demikian massa mencari saluran lain untuk mengekspresikan suaranya melalui internet dengan beragam fasilitas pendukung yang canggih.

Benjamin Barber dalam “Which Technology and Which Democracy” mengungkapkan bahwa net menawarkan sebuah alternatif komunikasi untuk massa saling berkomunikasi dan bersuara tanpa perantara elit politik sehingga ada wacana menentang pola komunikasi hirarkis dalam politik dengan demikian new media mendorong demokrasi secara langsung. Melalui pesannya yang begitu cepat tersebar melalui telepon pintar membuat dialog antara massa yang terjalin begitu kuat sehingga institusi politik terkadang terlewatkan oleh proses ini. Secara demokratis proses ini mungkin sangat efektif untuk menjalin relasi yang kuat antara masyarakat sipil sehingga peran institusi politik yang terkadang korup dan elitis tersebut terlimitasi oleh komunitas virtual. Dalam komunitas ini massa bisa saling berinteraksi satu sama lain tanpa takut ekspresi dirinya tidak diakomodir oleh politisi atau pemangku kebijakan.
Beralihnya massa menggunakan media internet sebagai suara alternatif dari instrumen demokrasi yang ada sebagai tanda bahwa ada ketidakharmonisan komunikasi antara lembaga negara dan masyarakat. Hal tersebut juga terjadi dunia barat di mana gerakan sosial termediasi melalui saluran media sosial. Meskipun telah menjadi konsumsi media konvensional namun digunakannya media alternatif seperti jejaring sosial dan lain sebagainya telah menandakan bahwa adanya kebuntuan saluran komunikasi antara elit dan massa. Sehingga internet menjadi media alternatif untuk memberikan informasi kepada massa apalagi dengan dukungan telepon pintar membuat informasi dan pesan kepada massa semakin cepat tersampaikan.

Pelajaran untuk Indonesia
     Bagi Indonesia, fenomena demonstrasi yang termediasi oleh media internet serta peran media sosial yang mempengaruhinya bisa menjadi peringatan bagi para elit di negeri ini. Karena sudah ada bukti internet telah menjadi ruang alternatif demokrasi bagi masyarakat yakni ketika pengumpulan koin untuk Prita ketika menghadapi masalah dengan rumah sakit Omni, dukungan ini mendapat partisipasi luas di masyarakat. Ada banyak lagi kasus dan kejadian di Indonesia yang menggunakan saluran internet sebagai ruang ekspresinya, karena ada sebagian yang menganggap bahwa melalui ruang media ini maka terjalin komunikasi yang partisipatif antara masyarakat dan ini merupakan suatu tantangan bagi para elit politik di Indonesia. Para elit politik hendaknya lebih menyentuhkan hatinya kepada masyarakat yang saat ini mulai merasakan dampak dari krisis global seperti ancaman pangan, ekspor yang mulai berkurang, kenaikan harga minyak dunia, dan lain sebagainya. Karena apabila pemipin dan elit negeri ini tidak eling serta mempunyai nurani niscaya partisipasi masyarakat dalam media internet termanifestasikan dalam sebuah gerakan jalanan yang mungkin kejadian Tunisia, Mesir, dan Libya menghampiri Indonesia.  

Menulis Dengan Rasa

Menulis dengan rasa, inilah behind the scene dari proses menulis opini untuk Harian Kompas yang terbit (27/05/23).  Pagi itu saya sehabis la...